Jumat, 16 September 2011

JALAN SURATMO


Atlas mutakhir Semarang yang semakin semrawut pastilah belum merekam garis alurnya Jalan Suratmo yang memang belum diresmikan Walikota, karena sesungguhnya belum rampung dibangun. Sebagian ruasnya bahkan masih merupakan jalan setapak yang meliuk-liuk di sela perbukitan yang gersang. Tapi sekian bulan yang lewat pernah jadi berita besar di koran-koran. Sebab, lebih dari seratus rumah warga kota harus dirobohkan menjelang gemuruhnya buldoser yang bakal melalap perbukitan itu. Tentu saja kasus seperti itu merupakan objek spektakuler bagi kaum wartawan. Padahal, pemberitaan yang bertubi-tubi itu sesungguhnya terasa menikam ulu hati siapa pun yang mesti berkorban.
            Perkaranya memang terbilang rumit, kata seorang guru besar yang terkenal ahli sosiologi hukum. Sebab, mereka sudah kepayahan memikirkan perjuangan hidup masing-masing. Mereka kebanyakan adalah orang-orang pinggiran yang selalu terkalahkan dalam persaingan hidup di kota besar yang semakin garang.
            Bagi mereka itu rumah bukanlah home yang dirindukan, komentar seorang insiyur ahli perkotaan. Rumah hanyalah pelindung diri terhadap hujan dan panas. Yang penting tidak terlalu jauh dari sumber-sumber rejeki. Di pihak lain, katanya pula lewat sebuah koran, Pemerintah Kota selalu kewalahan mencegah semarak rumah-rumah tak resmi. Pasalnya, kemampuan pemerintah sangatlah terbatas.
            Lain lagi pendapat seorang pejabat Pemerintah Kota. Katanya, sudah sejak lama pemerintah memberitakan rencana-rencana pembangunan, termasuk Jalan Suratmo yang bakal menjadi jalan alternatif buat mengurang kepadatan lalu lintas di poros Semarang-Jakarta. Tapi kebanyakan orang senang berspekulasi dengan harapan kelak mendapat ganti rugi. Padahal tak ada ganti rugi buat pemukiman yang terbilang liar. Namun, toh pemerintah tetap menempuh langkah-langkah bijaksana dan manusiawi. Kepada mereka ditawarkan kapling-kapling resmi tanpa bayaran. Tentu saja janganlah mereka menuntut tinggal di kawasan-kawasan yang sudah berkembang mapan. Dalam hal bongkar-membongkar pun pemerintah tidak melepas perhatian. Kepada mereka ditawarkan truk-truk gratisan, bahkan dibagikan pula uang sekadar pembeli paku. Sayangnya, mereka cenderung tidak mau mengerti, lantas mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat.
            Itu semua adalah hidangan lezat berbagai koran. Fantastik memang, apalagi dihiasi foto-foto yang komersial. Ada seorang nenek tua mesti memanjati sendiri rumahnya yang reyot. Ada adegan pertengkaran sekelompok korban dengan Petugas Ketertiban Umum. Ada pula rumah yang terpaksa dihancurkan buldoser. Pokoknya macam-macamlah warnanya.
            Barangkali kisah duka mereka itu kini sudah terlupakan banyak orang. Kebanyakan koran tak mau lagi kompromi dengan masa lewat. Dan orang pun selalu menuntut kabar-kabar terbaru. Lagi pula kesibukan kota yang semakin keras telah memaksa warganya malas merenung-renung. Masing-masing bergegas memburu harapan yang sulit dibayangkan sosoknya. Apa yang hebat dan spektakuler di hari kemarin tak nyaman lagi dikunyah hari ini. Dan besok mestilah mengunyah hidangan lain.
            Saya sendiri sudah melupakan kisah sedih Jalan Suratmo.
            Kalau kenangan itu kembali melintas-lintas, karena terundang ke kantor kelurahan. Kata surat itu, akan hadir pejabat Pemerintah Kota untuk mengabarkan rencana lanjutan proyek Jalan Suratmo.
            “Haruskah pergi?” Saya bertanya sendiri tanpa jawaban yang pasti.
            Pergi berarti mengunyah kisah duka. Bahkan bakal menyaksikan sendiri gelisah dan resah tetangga dekat-dekat yang selama ini sudah sekulit daging. Pejabat Pemerintah Kota itu pastilah mengabarkan bahwa sekian rumah perlu ditertibkan demi pembangunan transportasi kota yang lebih nyaman. Dan ndilalah sekian rumah itu adalah dunianya Pak Pendek, Pak Brewok, Pak Kuwat, Pak Gampang, Pak Sabar, Pak Kumis, dan Pak Godek yang semuanya sejawat dan sahabat dalam banyak urusan kampung.
            Konon Pak Pendek dan Pak Brewok itu cikal bakalnya kampung sekian belas tahun yang silam. Sering dengan bangga mereka berkisah tentang pergulatannya melawan celeng dan ular di semak-semak belukar. Mereka pun berbesar dada bila orang-orang sekarang membilang terima kasih dan memuji-muji rintisannya. Memang terasa ganjil di benak saya. Seolah-olah berkat merekalah kami sekarang bisa menghuni dan menata kampung. Tapi yang seperti itu bukanlah soal yang mesti dipertanyakan, apalagi diperdebatkan. Biarlah mereka nikmat dengan fantasinya, sedangkan kami pun tak merasa dirugikan.
            Pak Sukar dan Pak Gampang sering disebut Pak Kembar, karena memang bersaudara kembar lelaki. Masing-masing sudah beristri dan beranak. Masing-masing populer sebagai tukang batu dan tukang kayu yang terampil dan cekatan. Pak Kembar kerap kali memamerkan karyanya dengan menyebut rumah si A, si B, si C dan seterusnya. Pokoknya hampir semua rumah di situ pastilah pernah disentuh dan dijamah tangan-tangan perkasa Pak Kembar. Tapi sekarang makin banyak saingan dan mereka pun mulai melangkah ke kawasan-kawasan yang lebih pinggiran.
            Sering Pak Kembar dijadikan objek perjudian kelas kampung atau sekadar lelucon. Kemunculannya di mana pun sering mendorong orang bermain tebak-menebak, yang manakah Pak Gampang dan mana pula yang Pak Sukar. Tampaknya mereka sendiri senang-senang saja diperjudikan, sebab sering kebagian rejeki dari siapa pun yang bertaruh.
            Pak Kuwat banyak berjasa dengan dokarnya yang kokoh, bersih, dan berkuda jangkung. Biasanya tepat jam delapan sudah bersiap di bawah pohon munggur terbesar di jantung kampung menunggu para pelanggan yang hendak ke jalan raya. Pangkalannya di pohon munggur itulah yang lantas membuahkan julukan Pak Munggur baginya. Saya sendiri berharap Pak Munggur alias Pak Kuwat selalu sehat dan panjang umurnya. Dengan demikian banyak orang terbantu langkahnya ke jalan raya, terutama di kala hujan atau di saat panas memanggang bumi. Memang Pak Kuwat bukan satu-satunya pemilik dokar di kampung kami. Ada juga pendokar-pendokar yang lain. Tapi yang paling populer adalah Pak Kuwat, karena orangnya ramah, santun, dan kaya lelucon.
            Pak Kumis adalah petugas parkir di sebuah pasar pemerintah yang hampir setiap siang kami singgahi sepulang kantor. Sering istri saya menitipkan barang belanja padanya, dan saya sendiri sering menikmati pelayanan parkirnya yang ramah dan gratis. Jasa baik Pak Kumis itu telah mendorong istri saya membelikan selembar baju obralan menjelang Lebaran kemarin. Itulah Lebaran pertama sejak setahun lewat kami pun meramaikan kampung Wonoharjo yang sebagian wilayahnya bakal dilintasi Jalan Suratmo.
            Dan Pak Godek? Dia tak kalah berjasa dari yang lain berkat es puternya, meskipun terbilang kelas murahan. Akrab dan ramahnya tak sebatas dengan bocah dan remaja, tetapi juga dengan kalangan yang tua-tua. Di musim banyak perhelatan Pak Godek menikmati kelarisannya, karena yang punya hajat boleh dipastikan memesan es puter bikinan Pak Godek. Istri saya pun pernah memborong untuk sebuah acara seminar di fakultas.
            Sungguh saya tak banyak tahu asal-usul mereka tinggal di sana. Yang pernah terdengar, mereka pun maklum bahwa suatu saat kelak akan tergusur. Tetapi kata orang, mereka berani nekad bermukim di bahu Jalan Suratmo lantaran setengah mendapat ijin dari mendiang Pak Lurah Hebat yang sering dikenang jasanya membela-bela rakyat jelata. Padahal ada juga yang bilang lurah itu pun sibuk memungut uang tebusan untuk setiap kapling yang dipatok warganya. Tentu saja itu kisah sekian tahun yang silam. Padahal selama ini telah berganti lurah tiga kali. Dan Pak Lurah yang mengundang kami sore itu baru sebulan memangku jabatannya. Jadi, belum mengenal kami masing-masing. Belum sempat menjalin silaturahim. Belum sempat berbagi suka dan duka dengan kebanyakan warga sekampung. Mungkin itulah pengalaman pertamanya menghadapi masyarakat di lapangan. Sebab, sebelum memangku jabatan lurah lebih banyak berurusan dengan keuangan di Kantor Dinas Pendapatan Kota.
            Saya bayangkan Pak Lurah akan sedikit saja berkata-kata. Yang lebih banyak tampil pastilah sang pejabat Pemerintah Kota dengan argumentasi berkepanjangan. Lantas sama-samar terbayang bahasa mereka yang plastis dan terkesan simpatik, tapi ujung-ujungnya melepas tanggung jawab.
***
            Sesungguhnya kami-kami sendiri merasa berat hendak menjelaskan masalah Jalan Suratmo. Tapi, sebagai aparat pemerintah justru wajib mengajak segenap masyarakat  untuk memahami keputusan pemerintah. Pada kenyataannya kita-kita semualah yang harus mendukung dan berpartisipasi terhadap pembangunan yang sudah disepakati bersama lewat GBHN, Repelita, dan akhirnya sampai ke tingkat tata kota.
            Perlu diketahui bahwa rencana pembangunan Jalan Suratmo itu sudah diprogramkan sejak sekian tahun yang silam. Gambarnya sudah dibikin sangat jelas, dan sudah dipasang di kantor kelurahan. Maksudnya supaya masyarakat ikut mengamankan. Jadi, sekarang ini tinggal pelaksanaan saja. Kalau proyek itu ditunda-tunda memang banyak sebabnya. Yang jelas dana pembangunan daripada pemerintah sangat terbatas. Makanya diperlukan urutan-urutan atau giliran.
            Sama sekali tidak benar kalau ada pikiran bahwa pemerintah selalu mendesak kepentingan golongan yang lemah dan menguntungkan golongan yang kuat. Prinsipnya pembangunan itu untuk semua orang. Pembangunan jalan-jalan di seluruh kota ini jelas untuk semua orang. Kita-kita semua pasti membutuhkan. Bedanya, ada yang punya mobil atau motor sendiri, dan banyak yang harus dengan angkutan umum.
            Maka di sana-sini ada rute angkutan umum yang dilewatkan jalan-jalan kampung untuk membantu masyarakat yang jauh dari jalan raya supaya gampang mendapatkan kendaraan. Tidak mungkin jalan-jalan kampung dilewati mobil besar. Nanti masyarakat protes karena jalannya rusak. Tapi biasanya orang cuma melihat sepintas kilas. Katanya rute angkutan kota digusur-gusur. Lantas dijadikan bahan memojokkan pemerintah. Ini hanya sekadar contoh, dan kita semua masih bisa mengemukakan banyak contoh-contoh yang lain. Misalnya tentang penertiban pedagang, parkir, pasar, dan sebagainya.
            Jalan Suratmo akan dilebarkan menjadi tiga puluh meter. Jadi, kelak akan jadi jalur yang penting. Dengan sendirinya kampung Wonoharjo besuk-besuknya akan jadi strategis dan mahal harganya. Kelak warga di sini tidak tergantung lagi sama dokar-dokar yang sekarang masih bertahan. Apakah dokarnya akan digusur? Belum tentu. Nanti dicarikan alternatif lain. Maksudnya dicarikan cara yang baik supaya tetap eksis. Artinya, tetap bertahan. Sebab, dokar-dokar itu sebuah keunikan tersendiri di salah satu sudut kota besar yang jadi ibu kota propinsi.
            Sekali lagi kami jelaskan bahwa pembangunan apa pun pasti untuk semua orang. Dan kadang-kadang harus ada pengorbanan. Kebetulan, ndilalah, dalam kasus ini yang terpaksa berkorban adalah sebagian warga kampung Wonoharjo. Seandainya dulu warga setempat tidak menempati bahu jalan tersebut, pasti sekarang tidak menghadapi masalah yang rumit. Jadi, harap dipahami bahwa untuk pembangunan jalan itu tidak ada istilah penggusuran sama sekali. Yang harus dilaksanakan adalah penataan atau penertiban. Kalau tak salah ada sebelas rumah. Jumlah itu sangat sedikit dibandingkan dengan kasus yang terdapat di wilayah lain yang terpaksa memindahkan sekitar seratus rumah.
            Kedatangan kami-kami ini melaksanakan tugas daripada pemerintah untuk mendengarkan pendapat atau usul dan saran dari masyarakat. Hasilnya nanti harus kami sampaikan kepada pemerintah untuk dibahas lebih jauh. Jadi, kami sendiri tidak dapat dan tidak berwenang memberikan jawaban atau putusan. Kami-kami pun hanya ditugasi menampung pendapat masyarakat. Pokoknya sekarang ini hanya semacam sarasehan atau sambung rasa untuk memperolah gambaran langkah-langkah apa yang paling baik. Nah, silahkan siapa saja boleh berpendapat. Siapa saja punya hak bicara. Nuwun sewu, jangan sungkan-sungkan, jangan ragu-ragu, jangan takut-takut, karena masalah ini merupakan masalah kita bersama.
***
            Kemudian terbayanglah raut wajah mereka yang cemas, resah, gelisah, dan rapuh. Pasti mereka pun kehabisan kata-kata, sebab jarang bicara di rapat-rapat resmi kelurahan. Paling banter berkeluh kesah dan berserah nasib ke tangan Pak Lurah. Tapi apakah yang bisa diperbuat Pak Lurah?
            Saya sendiri di posisi yang sulit. Berat rasanya hendak mempersalahkan mereka, tapi mustahil juga membelanya. Yang jelas, harus bisa memilah-milah yang benar dan yang salah. Di sisi lain saya sendiri sungguh beruntung bila pembangunan jalan itu segera dilaksanakan, sebab sebagian ruasnya  melintas persis di depan rumah. Itulah memang alasan kami dahulu memilih kapling di Jalan Suratmo, walaupun saat itu masih dirapati ilalang dan semak belukar. Nyatanya sebentar lagi akan beraspal mulus.
            Lantas saya pun keluar, ingin memandang Jalan Suratmo yang sebagian punggungnya masih ditumbuhi pisang dan ilalang. Tapi yang terlihat justru kerumunan tetangga di depan rumah Pak Pendek. Pastilah mereka sedang merembug nasib masing-masing. Kecut hati saya sore itu. Tapi tak banyak yang bisa terucapkan, kecuali berbisik kepada angin yang mendadak bertiup dingin.***

                                                                                                (Semarang, Agustus 1991)

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS




Tidak ada komentar:

Posting Komentar