Jumat, 16 September 2011

MBAH LANANG


Petang itu saya sempatkan menjenguk Mbah Lanang yang belakangan hari sakit-sakitan. Mbah Lang memang sudah masanya istirahat. Kata orang, dialah lelaki tertua sekampung. Umurnya mungkin sudah lebih dari delapan puluh. Tapi Mbah Lanang sendiri tak pernah tahu persis bilangannya. Yang sering didongengkan kepada kami, Mbah Lanang dikhitan bertepatan dengan perayaan ulang tahun Ratu di tahun 1920. Kemudian ketika tentara Jepang mendarat di tahun 1942, Mbah Lanang sudah menikah yang ketiga kalinya. Dan hingga geger Gestapu tahun 1965 Mbah Lanang telah kawin cerai sebelas kali.
Petang itu Mbah Lanang duduk bersila di dipannya yang terbikin dari bambu wulung. Itulah dipan kesayangan Mbah Lanang. Mapan di ruang tengah yang sempit, diterangi bolam 10 Watt. Kordennya yang sudah kumal digulungkan ke sudut. Di dekatnya ada sebuah meja kecil yang menyangga segelas kopi hangat dan sepiring bubur sungsum. Mbah Lanang tersenyum menyambut kedatangan saya, lantas buru-buru menata duduknya dengan menyandarkan punggungnya yang tipis ke dinding.
Setelah menghela napas panjang, dia pun berkata perlahan, “Matur nuwun Mas, tadi siang dikirimi roti sama ibunya. Ya, beginilah, Mbah Lanang seperti merasa sudah dekat dengan liang lahat. Ampunilah segala dosanya ya Mas. Mumpung masih bisa berucap.”
Belum sempat saya menyahut, Mbah Wedok yang muncul entah dari sudut yang mana segera berujar lembut. Seolah-olah tak ingin terdengar oleh Mbah Lanang.
“Kalau begitu kok waras. Bicaranya genah. Biasanya ngomongnya ngalor-ngidul lho, Nak. Sampai-sampai mikirnya itu yang tidak-tidak, seperti kerasukan jin apa setan gombal.”
“Ya, yang sabar to Mbah. Orang Mbah Lanang ya sudah saatnya istirahat. Katanya, kalau orang makin tua itu kembali jadi bocah.” Saya pun berkata lirih dengan harapan Mbah Lanang tak sempat mendengarnya. Tapi nyatanya dia menyambung lembut.
“Kalau memang sudah bosan sama Mbah Lanang, ambil saja keris di lemari itu. Saya ikhlas, wong sudah tutug makan asam garam. Dulu kelihatan apa, sekarang bagaimana. Ayo, ambil keris itu!”
Nada kalimatnya yang mengeras itu seolah menguras tenaganya. Napasnya terengah, matanya melotot, dan bibirnya yang tebal itu berbuih-buih. Sesaat kemudian dia pun terkulai, lantas dengan gugup merebahkan dirinya hingga terlentang lesu. Setelah memejamkan matanya yang kuyu, tampak Mbah Lanang menata napasnya sambil bergumam, “Allahu-akbar, Allahu-akbar.”
Trenyuh hati saya menyaksikan rapuhnya Mbah Lanang, sesepuh kampung yang kemarin-kemarin gemar menggelar masa mudanya dengan kisah-kisah heroik yang kadang-kadang fantastik. Dari sekian banyak dongengnya itu boleh dibayangkan Mbah Lanang dulu lelaki yang dhug-dheng. Sakti. Tak mau terkalahkan oleh sesama. Itulah buahnya gemar berguru dan nglakoni pahit getirnya kehidupan. Misalnya, yang gampang saja katanya, setelah berpuasa genap sebulan Ramadhan lantas bersambung dengan tujuh hari setelah Riyaya atau Lebaran.
Itu pun masih berlanjut lagi dengan puasa Senin-Kemis. Masih juga menjalani pantang makan di hari-hari keramat. Pernah juga berpantang tidur dengan berkelana siang-malam selama sekian hari. Lain waktu Mbah Lanang mesti berselimut langit beralas bumi. Artinya, dia harus tidur di luar rumah. Tak jelas bagi saya berapa lama harus dijalaninya.
Segalanya itu dimaksudkan sebagai jalan mendekatkan dirinya kepada Gusti Allah yang menjadi sumbernya kekuatan hidup. Kata Mbah Lanang, Gusti Allah sesungguhnya sudah membekali kekuatan hidup kepada setiap orang. Tapi kekuatan itu mestilah digali, diolah, dan dijaga sendiri dengan tuntunan atau petunjuk tertentu. Harus dengan laku batin, katanya. Kalau tidak, orang itu hanya hidup dengan raganya yang pada akhirnya pasti binasa ke perut bumi pertiwi.
Setiap kali mendongeng Mbah Lanang selalu mengingatkan kami agar jangan gampang melalaikan sembahyang atau salat. “Itulah langkah awal mendekat kepada Gusti Allah,” katanya. Tapi, katanya entah kapan, salat saja belum menjamin orang bisa ketemu dengan guru pribadi yang menuntun kebenaran.
Tetapi sekali waktu pernah juga Mbah Lanang mengisahkan kenakalannya. Suatu saat dia pun gandrung dengan seorang ledhek atau penari tayub kelilingan. Sangking gandrungnya, sampai-sampai Mbah Lanang meninggalkan rumah, istri, dan seorang bocahnya selama berminggu-minggu. Tentu saja yang ditinggal jadi penasaran hingga sang mertua terpaksa campur tangan. Mbah Lanang disantet, lantas tak bisa berjalan. Kakinya dibikin lumpuh. Namun setelah meminta maaf dan disembuhkan, justru dengan kalem Mbah Lanang menceraikan istrinya. Lalu kawinlah dengan sang ledhek dan menurunkan seorang anak lelaki yang kemudian bermukim di Lampung.
Dari sebelas istrinya itu hanya empat perempuan yang melahirkan keturunan, enam lelaki dan empat perempuan. Semuanya sudah bercucu. Jadi, Mbah Lanang sudah berbuyut. Tiga orang tinggal sekota, sedangkan yang lain tersebar. Ada yang di Lampung, di Jakarta, di Bogor, di Cirebon, di Samarinda, di Surabaya, dan di Jember. Dari merekalah Mbah Lanang sering menerima kiriman wesel. Pernah sekali waktu saya sendiri mengantarnya mengambil wesel dari Jakarta, Bogor, dan Jember. Dan di saat itulah Mbah Lanang tampak marem, puas, dan bangga dengan kehidupannya.
“Yang jauh-jauh sudah dikabari, Mbah?” tanya saya kepada Mbah Wedok yang muncul dari dapur yang pengap.
“Sudah, sudah, semuanya sudah dikabari. Tapi baru yang Cirebon datang sepekan kemarin. Seharian di sini. Dan waktu itu ndilalah Mbah Lanang kelihatan segar bugar. Dibelikan jenang kudus habis tiga iris. Bahkan sempat ndongeng macem-macem. Tapi kalau lagi kumat sok bikin takut. Dia gemremeng tak karuan. Tak jelas omongannya. Seperti bicara sama setan atau jim gitu lho. Padahal saya sendirian. Waktu malam Jumat kemarin malahan seperti ditelikung kakinya sampai tak bisa turun dari dipan. Jadinya ya cuma bisa menyebut dan sesambat sama Gusti Allah.”
“Yang dekat-dekat mestinya bisa giliran di sini ya Mbah.”
“Namanya anak, kalau sudah omah-omah itu ya banyak urusannya sendiri. Kalau siang ya ada yang gantian nengok ke sini. Kalau malam ya kasihan dan repot. Mbah Lanang sendiri tak mau merepotkan. Kalau sudah malam lantas disuruh pulang. Dia bilang tidak sakit. Hanya kesel, capek, letih. Ada yang akan memboyong ke rumah anaknya, tapi Mbah Lanang sendiri yang nolak.”
Kemudian saya melihat Mbah Lanang menggeliat hingga akhirnya kembali duduk bersila. Mbah Wedok pun bangkit dengan santun, lalu menawarkan selembar handuk tipis buat mengusapi keringat Mbah Lanang. Setelah mengucap “Allahu-akbar, Allahu-akbar” maka Mbah Lanang menggapai kopinya. Dan saya pun bergegas membantunya hingga Mbah Lanang puas mereguknya.
“Matur nuwun, matur nuwun, Mas. Sampeyan ini tresna betul sama saya. Belum setahun tinggal di sini, tapi rasanya sudah berwindu-windu. Rasanya ayem dekat dengan sampeyan. Makanya saya juga nenuwun sama Gusti Allah, sampeyan serumah diparingi kuat lahir-batin, diparingi rejeki yang banyak. Ndilalah kalau ibunya masak-masak kok ya enak, cocok buat lidah saya. Ya, Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, ya Allah, islamkanlah hamba-Mu, ya Allah.”
“Sudahlah, Mbah, dibikin tenang hatinya biar cepat kembali segar. Biar Mbah Wedok tidak terus-terusan kebingungan.”
“Mas, orang-orang bilang Mbah Lanang punya cekelan, punya aji-aji, punya kesaktian. Ada yang bilang saya bisa omong-omong dengan jin dan setan gombal. Orang itu mengira sakitnya Mbah Lanang lantaran ada jin dan setan yang dengki dan jahil metakil. Sampeyan juga percaya, Mas?”
Bingung saya dibuatnya. Sama sekali tak menduga bakal ditanya seperti itu. Jawaban ya atau tidak sama-sama tanpa pijakan yang jelas. Setengah hati saya percaya juga Mbah Lanang adalah lelaki kuna yang punya kelebihan. Mudahnya orang bilang punya aji-aji kesaktian. Mungkin lembu sekilan, candrabirawa, jaran goyang, kebo ireng, macan putih, dan macam-macam. Tapi saya pikir itu urusan pribadi Mbah Lanang. Yang saya lihat sekarang Mbah Lanang sakit-sakitan lantaran umurnya yang makin menjelang akhir. Yang tampak sekarang Mbah Lanang cuma berdua sama Mbah Wedok. Yang saya lihat sekarang ada kemungkinan dijemput maut setiap saat.
Sedang saya berpikir demikian terdengar lagi kalimat Mbah Wedok lirih.
Sampeyan percaya kalau Mbah Lanang punya aji-aji kesaktian?”
Lantaran merasa terdesak, saya pun melepas kata seadanya, “Mbah Lanang sendiri belum pernah mengaku sama saya. Mungkin sekarang saatnya Mbah Lanang berterus terang. Itu kalau mengaku saya sebagai cucunya yang baik.”
Tak terduga saat itu Mbah Lanang tertawa renyah dan bergegas merangkul saya. Cengar-cengir juga hidung saya membau keringat Mbah Lanang yang kecut dan apek. Tapi saya tahankan sesaat. Lalu perlahan saya lepaskan rangkulannya hingga kembali duduk bersila dengan tenangnya.
Saat itu saya tak tahu persis di manakah Mbah Wedok berada. Kemudian samar-samar terdengar percakapannya dengan entah siapa di luar rumah. Tiba-tiba saya berpikir saat itulah kesempatan yang tepat buat menggali pengakuan Mbah Lanang.
“Katakanlah Mbah, apa yang mesti saya lakukan.”
Mbah Lang terdiam sejenak. Setelah bibirnya komat-kamit, kemudian terdengar kata-katanya setengah berbisik. “Maukah sampeyan melarung kering itu? Hanya sampeyan yang bisa melakukan.”
Merinding juga saya mendengar tawaran itu. Sebab memang belum pernah sekalipun mengerjakan hal semacam itu. Tapi pantaskah saya bilang tidak? Siapa tahu Mbah Lanang sungguh orang yang waskita. Bukan sekadar banyak umurnya, tapi memang menua dalam hidupnya. Konon, tidak setiap orang yang banyak umurnya itu pasti menua dalam hidupnya. Yang tua hanyalah mereka yang berhasil merebut makna dan hakikat kehidupan. Mereka itulah orang-orang yang sanggup mengolah pribadinya hingga bisa bertemu dengan guru sejati. Mereka itulah yang kelak kembali ke pangkuan Gusti Allah, lantas kekal dalam keabadian. Dan mereka itu tidaklah diperbedakan oleh harta kekayaan, pangkat, jabatan, gelar, dan keturunan.
Dan Mbah Lanang?
Sungguh bukan seorang yang berharta, tak berpangkat, tanpa jabatan, dan tak jelas asal-usulnya. Tapi saya sendiri terlanjur bersimpati padanya. Sebab, dongeng-dongengnya selama ini melukiskan sketsa perjalanan hidupnya yang senantiasa menggapai Nur Allah.
“Sudah magrib, Mas. Pulang dulu. Besok atau kapan-kapan dirembug lagi yang laras. Jangan lupa rerasan juga sama ibunya.”
Kalimat Mbah Lanang menyadarkan saya bahwa rencana itu bukan masalah sederhana. Baik dan buruknya mesti dipertimbangkan lebih dulu dengan ibunya anak-anak. Lantas saya pun bangkit dan menyalaminya. Mbah Lanang tersenyum lebar. Barangkali merasa lega sudah bisa melahirkan ganjalan hatinya. Tapi justru hati saya mendadak berdebar membayangkan pendapat istri di rumah.
Dalam melangkah pulang saya mereka-reka kalimat yang laras.
“Kita pun kelak menjadi tua. Pasti suatu saat dijemput maut. Sudah siapkah menghadapi jemputan itu? Dulu Mbah Lanang gagah perkasa, tapi kini tinggal rapuhnya. Kita pun kelak demikian. Dan mustahil berangkat sendirian. Kita pun butuh orang lain. Jadi, kalau saat ini ada orang membutuhkan diri kita, dan mungkin kita sendiri bisa melakukan, apakah pantas menolaknya hanya lantaran latar yang berbeda?”
Tentu saja belum terdengar komentar istri di rumah. Saya masih melangkah bersama rumput-rumput yang bergoyang. Dan petang pun makin merapat ***.

                                                                                                                                                  (Semarang, Mei 1990)  

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    BalasHapus