Jumat, 16 September 2011

P U L A N G


Petang sudah merapat saat jemarinya yang ramping mengetuk pintu yang membisu. Dia pun sadar rumah itu tak akan segera terbuka, sebab isyaratnya teramat lembut bagi yang di dalam. Barangkali bahkan tak terdengar lantaran terdesak siaran televisi. Lantas terbayang sepasang wajah yang temaram di amben kayu sedang menonton gambar-gambar kemewahan di layar kaca. Pastilah mereka tak mengira seorang anaknya sedang termangu di teras rumah kelahiran.
Sesaat kemudian dia pun mengulangi ketukannya setelah yakin pintunya terkunci. Perlahan terdengar langkah-langkah yang ringan dalam lipatan kain. Tapi terhenti sejenak seperti meragukan ketukan itu. Lantas pintu pun diketuk lagi disertai ucapan salam yang panjang. Dan saat pintu berderit perlahan terdengarlah sambutan yang ragu dalam rentetan kata yang ringan.
“Lho, kok bapaknya Gambuh. Kok sendirian? Kok malam-malam?”
Dan sebelum lelaki yang dipanggil “bapaknya Gambuh” sempat menjawab, terucap lagi keraguan wanita itu, “Bener sendirian? Dari rumah atau dari mana? Kalau anak pulang nganeh-anehi, sok jadi kaget dan terataban hatinya ibu. Tapi tak ada apa-apa, to?”
Lelaki setengah umur itu hanya bisa melepas senyum yang lembut, lantas menggenggam jari-jari ibunya, seolah hendak berbagi dingin yang tersisa dari perjalanan yang panjang. Beberapa langkah ke dalam masih tersaput sepi dan akhirnya lelaki itu merebahkan tubuhnya yang tipis ke amben kayu di ruang tengah. Tarikan napasnya yang panjang seperti hendak melepas beban yang memberat.
Saat itu sang ibu masih berdiri termangu, seolah tak percaya pada kehadiran anaknya. Tapi sebentar kemudian terbitlah senyumnya setelah mendengar pengakuan lirih dari bapaknya Gambuh.
“Kadang sekali tempo rindu pulang sendirian. Jadi, cuma kangen. Niatnya dari rumah hanya kepengin pulang sendirian. Kalau Ibu kaget, saya tahu. Tadi sudah saya bayangkan demikian. Tapi tak ada apa-apa. Bapak di mana?”
Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu belum beranjak dari tempatnya berpijak. Tampaknya masih belum percaya benar bahwa yang tergolek di amben itu sungguh sulungnya sendiri.
“Bapak ke mana to Bu?” Ujar bapaknya Gambuh yang berniat mengusir keraguan ibunya.
“Mungkin masih di mesjid. Tadi rasan-rasan mau rembugan sama takmir. Katanya pengin nambahi teras. Kalau Jumatan sudah meluber ke latar. Mumpung tembako seperti akan dapat angin. Kabarnya pabrik-pabrik di Kudus dan Kediri sudah mbuka-mbuka gudangnya. Malahan kabarnya Gudang Garam sudah melepas harga pasaran.”
Setelah terhenti sejenak untuk merendahkan volume televisi, terdengar lagi kata-katanya yang lembut. “Terus apa kabarnya Semarang? Bapak sendiri kemarin mengaku kangen sama cucu-cucunya. Ya kangen sama semuanya. Gambuh, Sinom, Mengatruh, dan semuanya.”
“Jadi pas ya Bu? Kalau Bapak kangen, saya sendiri rindu. Artinya, radar dan gelombang kita masih normal.”
“Lha iya itu, yang namanya bapak sama embok itu kepengin sambung terus sama anak-anaknya. Kepengin dengar kabarnya setiap saat. Tapi nyatanya jauh-jauh. Jadi, bisanya hanya berdoa sama Gusti Allah biar semuanya diberi sehat dan kenikmatan. Ibu sendiri selalu menyebut semuanya. Yang Semarang, yang Tegal, yang Bandung, yang Malang, yang Kudus, pokoknya semuanya dimintakan berkah dan kenikmatan.”
Di luar terdengar langkah-langkah mantap yang semakin mendekat. Bapaknya Gambuh yakin itulah pertanda langkahnya sang ayah. Lantas berbangkit, duduk bersila, dan perlahan merobek kreteknya. Saat pintu terbuka, bergegaslah dia menepi ke bibir amben hendak menyambut sang ayah yang sejenak berdiri mematung. Kemudian terdengar kata-kata yang memberat.
“Kapan datangnya? Sendirian?”
“Tadi, hampir isa. Sendiri saja. Memang lagi kepengin sendirian.”
Perlahan Bapak menata duduknya ke sudut amben, dan menyambung kalimatnya yang lirih.
“Dari kemarin aku rasan-rasan sama ibumu kalau kangen banget sama Semarang. Malahan sudah mikir besok apa lusa kepengin ke sana. Syukurlah kalau kamu sendiri yang pulang. Tapi, tak ada apa-apa to? Kok nganeh-anehi. Semuanya baik-baik?”
Ternyata bapaknya Gambuh tidak segera menjawab. Padahal itulah maksudnya pulang sendirian. Hendak mencurahkan resah hatinya ke pangkuan rumah kelahiran, mumpung masih mungkin merangkulnya. Tapi saat itu justru hatinya meragu dan bertanya, pantaskah berkisah yang sebenarnya? Setelah menyulut sebatang kretek dan menerima segelas kopi panas dari ibunya, berkatalah dia dengan nada dan irama yang datar.
“Sekali saat rindu pulang sendiri. Kangen pulang sebagai anak yang bisa bersujud khusuk ke pangkuan Bapak dan Ibu. Kalau sama istri dan anak-anak seperti biasanya akan terasa lain. Semrawut. Sibuk. Gemuruh. Kalau begini terasa laras. Santai.”
Bapak masih terdiam saat mengangkat gelas kopinya yang kental. Kemudian ibu mendekat duduk, sehingga mereka bertiga menyatu dalam kebekuan sekejap. Masing-masing seperti mencari tumpuan melepas kata-kata yang tersendat. Ketika mendadak terdengar deru motor di luar, sang ayah seperti menemukan alasan membuka percakapan.
“Tadi mbayar berapa ojeknya?”
“Mungkin ya mahal sedikit. Tapi biarlah. Saya pikir belum tentu sekali setahun mengojek. Jadi, biar sajalah kalau dianggap mahal. Ojeknya senang dan saya sendiri cepat sampai ke rumah.”
“Tapi, terus terang kaget lho kamu pulang begini. Soalnya malam Jumat kemarin aku mimpi yang rada tak enak maknanya. Orang bilang impian itu kembangnya tidur. Boleh saja dibilang demikian. Tapi yang sudah-sudah mimpiku sering ada maknanya. Sekarang boleh to mendengar dulu kabarnya Semarang?”
Ibu yang terdiam lantas berbangkit. Barangkali menyadari sisa-sisa urusannya di  dapur.
“Makan dulu saja, ya? Nanti tinggal dongeng-dongengan. Gorengkan telur apa tahu bacem?”
“Tadi sudah makan di kota. Kangen sama tahu kupat. Tapi kalau Bapak belum dahar, boleh juga ikut sedikit. Tahu bacemnya siapa? Masih bikinan Yu Warsilah?”
Tak terdengar jawaban Ibu, karena bergegas menghilang ke belakang. Dan sepi rumah itu kembali teronggok di amben kayu yang sudah sekian puluh tahun bertahan di ruang tengah. Ayah tampaknya tak ingin mendengar kisah itu sendirian. Nyatanya menyusul ke dapur dan kembali berdua dengan nasi putih, sayur lodeh, dan tahu bacem yang panas.
“Kebeneran tadi nyisihkan tahu bacemnya Yu War,” ujar Ibu dengan lirih seolah sekadar ingin membuang sepi.
“Apa to bedanya dengan tahu bacem Semarang?” kata Ayah sambil bersibuk dengan sendoknya.
“Sama saja kalau soal rasanya. Tapi bacemnya Yu Warsilah bisa bangkitkan kenangan lama. Dulu senang nongkrong di warungnya lantaran anaknya ayu-ayu. Waktu itu, lho. Tentu sekarang sudah lain maknanya. Di mana saja mereka sekarang? Mursidah, Murilah, dan Marsinah mungkin sudah pada punya cucu. Mungkin juga sudah pada lupa bikin tahu bacem.”
Mereka pun tersenyum dan berlanjut ujaran bapaknya Gambuh. “Kalau baceman Semarang itu sudah nyangkut urusan masa kini. Jadi, serba praktis demi perut semata-mata. Tapi kondang juga di kalangan teman sekantor. Kadang pada nuntut dibuatkan. Anehnya, belakangan ini ibunya Gambuh mengaku malas mengurus dapur. Ndilalah serba kesalahan. Pernah ayamnya gosong. Pernah pagi-pagi sayurnya kecut, padahal belum diapa-apakan. Kemarin nasinya tumpah. Mungkin semuanya itu kebetulan saja. Tapi seperti ada firasat, katanya. Entahlah.”
Kalimat terakhir itu dibiarkannya tergantung, lantaran disadari sudah terlalu jauh arahnya. Tapi Ibu yang tanggap isyarat lantas menyambung pendek, “Apa ada musibah, apa gimana?”
“Musibah? Ah, bukan. Hanya lelakon perjalanan harus berbelok-belok,” sahut bapaknya Gambuh sambil memberesi piringnya.
“Ada apa to kok bikin dheg-dhegan saja?” sela Ayah dengan cekatan, dan sambungnya perlahan, “Apa soal jabatan?”
“Begitulah kira-kira. Sejak kemarin bukan lagi pejabat fakultas.”
“Terus dipindah atau bagaimana?” tanya Ibu.
“Ya, tidak. Kembali ngajar seperti biasanya. Lain sama kantor pemerintah. Kalau di sana jabatan itu karir. Terus makin meningkat, kecuali kalau ada kesalahan, bisa dihentikan. Mungkin juga harus pindah ke tempat lain. Tapi jabatan di fakultas seperti pengurus RT. Dipilih dari dosen-dosen senior untuk tiga tahun masa jabatan. Syaratnya macam-macam. Pangkat, pengalaman, loyalitas, sikap, dan lain-lain. Kalau segalanya mulus dan bagus biasanya dua kali masa jabatan. Sesudah itu kembali jadi staf biasa. Seperti ketua RT atau RW begitulah.”
“Tapi kamu sendiri baru sekali menjabat,” sela Ayah dengan nada gelisah.
“Ya, itulah namanya lakon. Mestinya masih satu masa jabatan lagi. Sudah diputuskan di rapat fakultas. Semuanya sepakat. Tapi, kenyataannya gugur di Jakarta. Yang diangkat orang lain.”
Bapak terdiam seperti ingin mencerna penjelasan itu, sedangkan Ibu berbangkit lamban membereskan piring-piringnya. Sebenarnya bapaknya Gambuh sendiri sadarlah bahwa mereka berdua kesulitan memahami masalah itu. Soal pangkat dan jabatan sungguh di luar hitungannya. Yang pasti, mereka pun selalu berharap segenap anaknya berkembang makin semarak. Yang mereka tahu, bapaknya Gambuh itu dosen, adiknya pegawai Dolog, adiknya lagi pegawai Bank BRI, adiknya lagi pegawai Kabupaten, dan yang bungsu guru SMP.
Semuanya itu sungguh kemurahan yang berlebihan bagi mereka berdua yang selama hidup hanya mengenal persil, kebun, sawah, dan tegalan. Sekarang mereka pun ikhlas menunggu sepinya rumah kelahiran sambil sekali-sekali merindukan pulangnya anak, menantu, dan cucu-cucu yang suka bermanjaan. Apa lagi yang lebih indah dari kanugrahan seperti itu?
Kalau malam itu seorang anaknya melangkah pulang dengan wajah yang muram, maka yang bisa mereka ucapkan hanyalah kalimat-kalimat istifar.
“Bapak sungguh tak paham peliknya persoalan jaman sekarang. Namanya saja orang desa yang lahir di jaman silam. Tapi yakin bahwa hidup ini sepertinya tak pernah ingkar janji. Sebab, sumbernya kekal, hanya Gusti Allah yang rahman dan rahim. Jadi, yang bisa dilakukan sekarang hanya memohon kepada Gusti Allah biar semuanya diparingi lakon yang adil. Yang menanam kebajikan pasti akan diberi buahnya. Dan jangan ada anakku yang tergoda menanam kebatilan dan kemungkaran.”
Bapaknya Gambuh hanya terdiam seraya mempermainkan ujung kreteknya ke asbak lempung bikinannya sendiri sewaktu masih di SMA. Tapi pikirannya menyusup malam yang semakin sunyi. Ingin dia berkisah panjang lebar. Tapi sadarlah bahwa segalanya bukan oleh-oleh yang pantas dihidangkan di amben yang selalu pasrah mendengar segala kisah. Kemudian percakapan beralih-alih ke banyak arah. Tentang panenan, kondangan, layatan, daftaran sekolah, dan seterusnya. Dan seterusnya.
“Terus apa rencananya besok?” Tanya Ibu setelah mematikan televisi.
“Sudah pesan sama Mas Ojek dijemput setelah subuhan.”
“Lho, kok buru-buru?”
“Biar tak ketemu banyak tetangga. Nanti jadi berkepanjangan dongengnya. Mesti basa-basi. Yang penting, saya ingin matur sama Bapak dan Ibu bahwa selama ini sudah mencoba berbuat yang baik-baik. Soal jabatan tadi, janganlah dirisaukan. Barangkali memang bukan jatah saya. Meskipun mengaku punya prestasi, mungkin saja tak tampak di mata atasan. Apa lagi di mata orang Jakarta yang jauh, pasti yang tampak hanyalah pangkat. Kalau benar direbut orang, ya sudah, mau apa lagi? Biarlah urusannya sendiri kepada Gusti. Jadi, sementara ini kami serumah harus belajar ikhlas. Harus nerima ing pandum. Kalau soal kerjaan, percayalah, sangat banyak yang harus digarap.”
“Yang penting, jangan lupa sama sumbernya. Eling dan waspada,” ujar Ibu dengan lembutnya sambil mengelus punggung sulungnya yang tetap menipis. Kemudian bersambung pengakuan Bapak dengan nada yang rendah.
“Jadi, mimpiku benar. Ada maknanya. Mau bikin rumah-rumahan kok tahu-tahu dibongkar orang. Belum sempat tanya-tanya siapa pun, tahu-tahu dibangunkan ibumu.”
“Habis, bikin orang kaget. Ribut. Siapa yang tak bingung?” sahut Ibu dengan senyuman yang manis.
Akhirnya perlahan mereka pada melepas duduk masing-masing, lalu berkemas ke bilik tidur yang tak pernah ingkar janji merangkul segala resah dan gelisah. Dan malam pun berlanjut.***

                                                                                             (Semarang, Juli 1996)  

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar