Jumat, 16 September 2011

P A K S E T E N


Kemudian melekatlah nama julukan Pak Seten baginya. Dan dia pun tersenyum santai menerima julukan itu setelah sekian hari sering dipanggil Pak Abstein oleh kolega dekatnya. Dasar lidah Jawa, ketimbang susah-susah mengucapkan Abstein atau Stein yang terasa asing itu maka terucaplah Seten yang njawani.
Tentu saja julukan itu tanpa urusan apa pun dengan jabatan seten di zaman dahulu. Kata orang, Pak Seten artinya sama dengan Pak Camat zaman sekarang. Tetapi jelaslah Pak Seten yang berarti Pak Camat itu bukanlah dari Pak Abstein atau Pak Stein. Sebutan itu berasal dari asisten wedana yang artinya pembantu wedana. Benar salahnya, entahlah.
Katanya sekarang jabatan wedana itu cenderung tidak populer lantaran tidak strategis secara politis dan ekonomis. Kalau tak salah, jabatan itu disebut pembantu bupati atau walikotamadya untuk wilayah tertentu. Jadi berbeda dengan camat yang statusnya jelas kepala wilayah kecamatan. Jabatan wedana memang berstatus lebih tinggi ketimbang camat, tapi justru disirik atau dihindari para camat yang seharusnya naik pangkat dan jabatan. Harapan mereka biarlah selamanya menjadi camat dan (kalau bisa) jangan sampai di-wedana-kan. Itu bukan perkara status, tapi menyangkut basah dan keringnya sumber penghasilan.
Mungkin penghasilan Pak Seten yang hanya orang fakultas itu terlihat kurus di mata seorang kepala kecamatan, walaupun pangkat dan golongannya sudah terbilang tinggi. Tapi Pak Seten sering menghibur dirinya dengan semboyan “janganlah jabatan dan profesi selalu diperhitungkan dengan penghasilan”. Mungkin Pak Seten pernah juga mendengar semboyan orang “bolehlah bergaji kecil, asalkan penghasilan terus berlimpah”. Itulah sebabnya selikur tahun yang lewat dia pun tegas memilih jabatan Asisten Ahli Madya di sebuah fakultas sastra, meskipun waktu itu sudah mulai berkarir sebagai jurnalis koran terbesar di kotanya. Pilihan itu pastilah bukan tanpa alasan. Tapi terlalu panjang untuk dikisahkan sekarang.
Kini Pak Seten sudah menjabat Lektor Kepala golongan IV-A. Padahal seharusnya malahan setingkat lebih tinggi. Sebab, Pak Seten terbilang malas mengurus-urus kepangkatan yang salurannya panjang dan berliku. Pikir Pak Seten, mestinya pimpinanlah yang menangani perkara itu, karena tugas dinasnya memang untuk kepentingan orang banyak. Bukankah hal itu konsekuensi dan tanggung jawab pimpinan?
Orang pun maklum pimpinan fakultas dan universitas tidak disebut kepala, tetapi dekan dan rektor. Pernah Pak Seten secara iseng membuka-buka kamus hendak mencari kata dekan dan rektor. Yang terbaca dekan itu bermakna ganda. Pertama, berarti ulat pemakan buluh (Rhinzomys sumatransis), sedangkan makna yang kedua adalah pemimpin (kepala) fakultas di perguruan tinggi. Tapi Pak Seten tak mendapat keterangan dari manakah asal-usul kata dekan. Lantas yang rektor? Pertama, ketua perguruan tinggi (universitas, institut dsb), sedangkan yang kedua berarti pemimpin atau kepala biara.
Entah apa sebabnya kemudian keisengan itu pun terlupakan. Artinya, Pak Seten tak pernah berpikir lagi hendak mencari-cari asal-usulnya. Yang dia sering berpikir, dekan dan rektor itu pemimpin kaum terpelajar, cendekiawan,  cerdik pandai, ilmuwan, dan kaum profesional. Jadi, wajarlah kalau seorang dekan atau rektor itu pun ilmuwan yang mumpuni. Sebab itulah hendaknya dia pinter dan profesional di bidang ilmunya sendiri. Hendaknya mahir memimpin orang banyak. Hendaknya terampil mengurus manajemen. Hendaknya rendah hati, santun, ikhlas, dan sekian hendaknya yang baik-baik.
Pasti tak seorang pun menyandang banyak kelebihan seperti itu. Pasti setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Pasti setiap orang punya keunggulan dan kelemahan. Pasti setiap orang punya plus dan minus. Makanya mesti ditimbang-timbang manakah yang lebih berat bobotnya: unggulnya atau lemahnya? Plusnya atau minusnya? Lantas siapakah yang paling berhak menimbang-nimbang kepantasan seseorang menjadi dekan atau rektor? Banyak orang bilang bahwa timbangan itu seharusnya berada di tangan orang-orang sekampus. Sebab merekalah yang sudah dekat dan akrab dengan sang calon. Dan mereka sendirilah yang kemudian akan menanggung kepemimpinannya. Jadi alangkah indahnya kalau pimpinan itu sepadan dengan harapan orang-orang sekampus. Tentulah bukan berarti dekan dan rektor itu orang yang terbaik, tetapi dialah orang yang tepat duduk di kursi pimpinan pada masanya.
Namun, Pak Seten mengaku terlanjur malas memegang harapan banyak orang. Sebab, yang terdengar di sana-sini telah terjadi keguguran (atau pengguguran) harapan. Misalnya masyarakat di kampus anu telah mantap memilih si A dan si B menjadi calon pimpinan, tetapi justru si C dan si D yang diangkat oleh kementerian di Jakarta. Kasus semacam itu pun pernah benar-benar terjadi di fakultasnya, bahkan Pak Seten sendiri mengalaminya.
“Saya harap sampeyan menerima keputusan ini dengan ikhlas, sabar, dan takwa. Saya yakin jabatan itu bukan tujuan sampeyan. Pantasnya sampeyan menjadi doktor. Saya maklum sampeyan pun kecewa. Siapa sih yang tak suka jabatan. Tapi kita percaya sama takdir. Kami sendiri sudah berjuang maksimal. Kalau sudah menjadi keputusan Jakarta memang sulit dibatalkan. Jadi, sekali lagi, terimalah dengan ikhlas. Barangkali Tuhan punya kehendak lain buat sampeyan. Yang penting prestasi dan kerja keras sampeyan kemarin telah dicatat banyak orang. Mudah-mudahan ibadah dan amal sampeyan diterima Gusti Allah.”
Seperti itulah kurang lebih kalimat-kalimat yang setahun silam berjatuhan di meja Pak Dekan. Lantas dipungutnya satu-satu dan disimpan perlahan ke celah-celah buku hariannya yang semakin padat. Sayang rembugan mereka saat itu berjalan teramat singkat. (Atau memang sengaja dipersingkat oleh Pak Dekan?) Maka yang kita mengerti hanyalah namanya digugurkan Jakarta lantaran pangkatnya belum sepadan peraturan. Tampaknya Jakarta melihat data di atas kertas, bukan data di lapangan. Lantas di manakah makna dedikasi dan prestasi? Atau, adakah kemungkinan lain seperti lobi-lobi yang dia sendiri tak pernah memikirkannya?
Yang terpikir, selama tiga tahun mendampingi Pak Dekan dia merasa telah mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan waktunya untuk fakultas. Ndilalah, kebetulan, sepanjang masa tugasnya kemarin sedang marak-maraknya gerakan mahasiswa yang berdalih menggugat demokrasi, kebebasan ilmiah, otonomi kampus, nasib buruh, nasib petani, dan sebagainya. Bahkan kampusnya sendiri sering dijadikan pangkalan keributan, sehingga populer di koran-koran. Maka tak jaranglah dia pun berurusan dengan pihak aparat keamanan demi kepentingan mahasiswa dan kampusnya. Dan bolehlah dia merasa berbesar hati karena berbagai masalah yang gawat-gawat di kampusnya bisa terlewat dengan selamat. Jadi, wajarlah namanya diusulkan ke Jakarta agar masa tugasnya berlanjut sekali lagi. Kalaupun harus ada calon lain “demi peraturan dan perundang-undangan” maka sifatnya hanyalah formalitas.
Namun apa yang terjadi ternyata di luar harapannya.  Untunglah dia sibuk di mana-mana, sehingga cepatlah melupakan segala kisahnya yang terlewat.
Kemudian tibalah saat fakultasnya sendiri harus memilih calon pimpinan baru karena Pak Dekan harus mengakhiri tugasnya setelah dua kali pegang jabatan. Artinya, Pak Dekan harus ikhlas melepasnya “demi peraturan dan perundang-undangan” meskipun di baliknya mungkin saja merasa kehilangan. Yang jelas, akan kehilangan sekian fasilitas dan akan kembali menjadi staf  jurusan saja.
Lantas di awal proses pencalonan itu terdengarlah sesorah Pak Dekan yang sangat berharap semua pihak bertanggung jawab. Jangan sampai ada  yang melepas tangan. Jangan sampai ada yang dianggap menghambat demokrasi. Jangan sampai ada yang diragukan dedikasi dan loyalitasnya. Jangan sampai ada yang menularkan apatisme ke kalangan mahasiswa. Jangan sampai ada yang kelak terpaksa dipanggil rektor. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Dan sejak itulah bermunculan bisik-bisik dan rerasan banyak orang: di kantor, di ruang kuliah, di kantin, di sudut parkir, dan bahkan di gagang telepon. Macam-macamlah aspirasinya. Ada yang bilang aspirasi bawahan biasanya hanya jadi catatan di rapat fakultas. Bahkan terdengarlah rerasan Pak Seten, ”Jangan-jangan kelak putusan rapat itu hanya catatan buram di mata pejabat tinggi di Jakarta. Jadi, apa salahnya kalau diserahkan saja kepada Pak Menteri. Biarlah Jakarta sendiri yang bikin ketetapan. Dan terimalah siapa pun yang diangkat jadi pimpinan. Dan lupakan saja sekian harapan yang muluk-muluk.”
Wajarlah rerasan itu disambut bermacam sikap. Yang jelas, orang mengira rerasan itu sekadar kelakar dan seloroh. Maka heranlah mereka menyaksikan seloroh Pak Seten yang bersungguh-sungguh.
Sampeyan memang tak ambil pilihan?” Tanya Pak Abunawas setelah rapat fakultas itu bubaran.
“Saya pikir siapa pun boleh memimpin,”jawabnya ringkas.
“Boleh itu berbeda dengan berhak, bukan?”
“Tapi, ingat yang berhak belum tentu boleh.”
“Diperjuangkan, dong!”
“Tahu diri. Orang kecil bisanya apa, sih?”
“Dendam sama nasibnya sendiri?”
“Mudah-mudahan Gusti Allah mengampuni segala dosaku.”
Apakah benar dia berdosa? Entahlah. Yang jelas, sejak itulah orang-orang dekatnya gemar memanggilnya dengan julukan Pak Abstein, Pak Stein, dan akhirnya Pak Seten.
Kabar terakhir Pak Seten dipanggil rektor.***
                                                                                   

                                                                                      (Semarang, April 1998)

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar