Jumat, 16 September 2011

SESORAH UNTUK LELAKI YANG (MASIH) BERISTRI


Kupenuhi ajakannya per telpon untuk makan malam di sebuah kafe mewah yang belum pernah kujamah. Katanya ada sebuah pekerjaan yang membutuhkan diriku. Kubayangkan dia akan meminta bantuanku menulis biografi atau buku jagad lukisan. Itulah yang paling mungkin kulakukan, walaupun belakangan ini cenderung bermalas-malasan.
Ternyata di luar dugaanku. Setelah berbasa-basi seperlunya dia pun melepas niatnya dengan gaya bicaranya yang lugas. Ceplas-ceplos.
            “Bung, kami akan bikin Kawin Perak. Kupikir-pikir penting juga pernik-pernik kehidupan seperti itu. Bertahan seperempat abad sebagai suami-isteri ternyata sebuah keberhasilan yang perlu disyukuri. Bung sendiri sudah bikin Kawin Perak dengan sebuah buku. Nah, kami kepengin yang lain. Apa bentuknya sedang digarap Nyonya. Yang jelas, kami  sepakat  mengisinya dengan ceramah. Tapi tidak mengundang ustad, kiai, atau pakar ilmiah. Topiknya kesiapan mental menduda.”
Dan tanpa menunggu tanggapanku, dia pun melanjutkan kalimatnya.
            “Jangan protes dulu, Bung. Biarkan saya ngomong.”
Aku pun mengalah dan membiarkan dia membakar kreteknya. Kemudian kudengar rentetan kata-katanya yang semrawut.
“Biasanya seorang ustad atau kiai bicara normatif. Idealistis. Dogmatis. Dan rujukannya sudah jelas ayat-ayat suci Al Quran atau kisah-kisah Rasulullah. Yang itu boleh dibilang sudah sering kudengar di banyak pengajian. Pakar ilmiah pasti bicara teoretis. Rumit. Njelimet. Muluk-muluk. Argumentasinya berkepanjangan. Yang awam biasanya tak betah mendengarnya. Kami kepengin dengar sesorah yang empiris. Yang konkret. Yang realistis. Yang sederhana. Rujukannya kita sendiri. Sesama manusia. Artinya punya benar dan salah. Setuju, bukan?”
            “Boleh juga.”
            “Ini penting, Bung. Sebab, kami sudah memilih Bung sendiri yang sesorah.”
            “Apa dasarnya?”
“Sederhana saja. Ndilalah Bung harus menjadi duda dadakan. Nah, kami kepengin dengar pengakuan Bung mengendalikan kehidupan. Biar jadi rujukan bagi kita-kita yang masih normal. Setuju, bukan?”
“Wah, sontoloyo sampeyan. Tapi menantang. Jadi, bolehlah dicoba. Terus, apa yang mesti kusampaikan?”
“Itu terserah Bung. Yang jelas, kami mengundang dua puluh lima pasangan suami-isteri yang terpilih dari sekian banyak kerabat dan sahabat. Tempatnya restoran termahal di kota tercinta yang terseok-seok ini. Jadi, Bung tak perlu sungkan-sungkan bicara, lantaran publiknya sudah pilihan.”
“Sampeyan ini kayak orang kuker, ya?”
“Apa itu kuker?”
“Kurang kerjaan. Tapi ndak apa-apa, wong duit sampeyan turah-turah. Lantas, berapa honor saya? Ini profesional, bukan?”  ujarku sekedar berseloroh sembari melolos sebatang kreteknya yang dibilang kualitas ekspor. Kemudian kusempatkan sekejap mengerling wajah-wajah perempuan yang kebetulan melintas di dekat kami.
“Cantik-cantik?” katanya lirih seperti  hendak membaca pikiranku.
“Boleh juga. Tapi sampeyan harus bilang lebih cantik isteri sendiri.”
“Mungkin saya mesti bilang demikian. Tapi sudahlah. Nanti Bung sakit hati.”
“Tidak. Tak ada masalah.”
“Syukurlah. Saya yakin Bung sudah matang.”
“Kok tahu?”
“Rasa-rasanya begitulah.”
Percakapan kami terhalang hadirnya sepasang pelayan remaja yang sibuk mengemas hidangan. Dan sekejap kemudian kudengar ujaran sahabatku.
“Saya harap selera Bung berkembang.”
“Terima kasih. Sekarang memang cenderung malas makan di rumah. Rasanya sepi dan cemplang.”
“Saya paham. Pasti jauh bedanya dengan yang dulu. Soalnya beliau mahir sekali memasak.”
“Di bidang itu boleh dibilang pilih tanding. Apa pun yang disentuh pasti jadi hidangan yang nikmat. Dulu makan itu sebuah kesibukan yang indah, asyik, seni, gairah, dan semangat. Sekarang sepi. Cemplang. Kosong. Sebab makan hanya karena lapar. Jadi, kesempatan macam ini jelas menyenangkan.”
“Syukurlah. Ayo, sikat habis, Bung.”
Kami pun lantas sibuk dengan piring masing-masing. Dan di celah kesibukannya kudengar lagi kalimatnya yang renyah.
“Begini, Bung. Belakangan aku berpikir, suami-isteri mana pun harus bersiap mental untuk sewaktu-waktu menjadi duda dan janda dadakan Iya kan? Siapa yang tahu persis jadwal kematian kita sendiri? Saya bisa bayangkan apa yang Bung rasakan. Tiba-tiba ditinggal istri dengan kematian yang sangat mendadak. Kalau orang berpisah karena usia lanjut atau sakit berkepanjangan, barangkali kesiapan mentalnya sudah berkembang. Lain sama Bung. Pasti tanpa persiapan, bukan? Nah, kelanjutannya bisa jadi bahan kajian yang menarik buat psikolog seperti Pak Darmanto Jatman atau Bu Frieda yang centil. Tapi biarlah.”
Terlintas wajah Pak Darmanto Jatman yang simpatik dan Bu Frieda yang ramah. Mungkin benar pikiran sahabatku. Tapi, biarlah. Buat apa menawar-nawarkan masalah. Aku sendiri merasa belum punya problem serius dengan statusku sebagai seorang duda dadakan. Tanpa secuil pun rencana dan niatan. Jangankan rencana, membayangkan selintas pun tak pernah.
Rencana kami serumah justru merangkai kembang-kembang kegembiraan untuk pernikahan gadisku yang sulung. Sudah sekian lama kami pun sibuk merancang dan meracik berbagai keperluan pestanya. Sudah memilih hari yang baik. Sudah menghitung-hitung undangan. Sudah memilih-milih menu hidangan. Sudah memesan gedung. Sudah merancang rias, busana, cenderamata, dan macam-macam. Pokoknya, sudah segalanya. Sudah total. Sudah tuntas.
Tapi segalanya terpaksa buyar berantakan seperti disambar halilintar lantaran Sang Pemilik Kehidupan telah memanggil pulang istriku dengan sangat mendadak dalam sebuah adegan yang setitik pun tak pernah terbayangkan dalam rancangan skenario kehidupanku sendiri.
Peristiwanya berlangsung teramat singkat di tengah perjalanan ke tanah kelahiran untuk sebuah acara kondangan.
Di sebuah tikungan mobil kami harus berhenti karena kemacetan yang panjang. Tiba-tiba pantatnya tersodok mobil dari belakang. Setelah menepi ke bahu jalan, kami pun turun untuk menyaksikan luka mobil kami sendiri. Ternyata hanya penyok sedikit bempernya, sehingga aku sendiri tak berniat menciptakan perkara. Sambil meyakini posisiku yang benar, kubiarkan mobil yang menabrak itu melintasi kami. Kupikir akan terus melaju, ternyata berhenti agak jauh di depan.
Saat kami berkemas, datanglah sopirnya yang berniat mempersalahkan kami dengan dalih berhenti mendadak. Tentu saja aku bertahan dengan kemantapan sepenuh hati. Meskipun samar-samar kulihat mobil itu bernomor dinas militer, tak berkurang setitik pun niatku mempertahankan kebenaran. Kudengar permintaan istriku untuk menyelesaikan dengan sebaik-baiknya. Dan samar-samar kudengar juga pembenaran orang-orang setempat yang bermunculan merubungku.
Tiba-tiba kusaksikan istriku terkulai di bahu jalan. Kontan saja kulepas perhatianku untuk menuntaskan percakapan. Lantas dalam sekejap kusaksikan orang-orang itu sudah menjunjung istriku dan membawa masuk ke rumah terdekat buat pertolongan darurat. Berhubung tanda-tanda kesadarannya makin menghilang maka segera kularikan ke rumah sakit, tetapi jiwanya tak tertolong.
Kata dokter, isteriku mengalami keterkejutan yang mendadak akibat benturan mobil dari belakang. Kemudian tekanan darahnya melonjak cepat sehingga terjadi pendarahan di kepalanya. Dokter pun bilang kematian almarhumah indah sekali. Khusnul khotimah. Kemungkinan lain justru        akan menimbulkan kesulitan yang berkepanjangan seperti stroke, lumpuh, matisuri dan semacamnya.
Kami serumah sudah ikhlas melepas kepergian almarhumah tercinta, walaupun kadang masih menahan dendam terhadap penyebabnya. Kadang kami pun berharap sopir itu kelak mengalami kemalangan yang berlebihan. Tapi, siapakah orangnya? Entahlah. Hanya Gusti Allah yang melihatnya.
Biarlah dia merasa terbebas dari kesalahannya. Biarlah dia berlari ke seluruh penjuru jagad. Biarlah. Dan biarlah Kehidupan Yang Agung menghukumnya dengan keadilan yang akurat. Mungkin pembiaran itu tidak rasional. Tapi apa yang bisa kuperbuat? Sudah kutulis surat pembaca di koran-koran dengan harapan ndilalah terbaca pihak-pihak yang bersangkutan. Siapa tahu sampai juga ke sopir itu dan terketuk nuraninya untuk meminta maaf. Sebatas itu pun akan sangat melegakan hati kami serumah. Tapi, sudahlah.
Yang jelas, sekarang terasa alur jagad kecil kami berubah. Meskipun sudah bertekad lebih berpikir ke depan, ternyata lintasan masa lalu mustahil dihapuskan. Dan muncullah berbagai masalah keseharian yang tak selalu gampang dirampungkan sendirian. Kalaupun konsultasi ke psikolog, paling banter  jawabnya hanyalah anjuran dan saran yang sangat teoretis. Lagi pula siapa yang menjamin para psikolog itu sehat lahir batin?
“Bung, maaf, boleh saya bertanya?” ujar sahabatku memotong lintasan pikiranku sembari menawarkan kembali kreteknya yang mahal setelah kami tuntas melahap segenap menu hidangan.
“Kenapa tidak?” jawabku ringan.
“Pernah terlintas Bung kepengin protes kepada Gusti Allah?”
“Pikiran seniman memang kadang gila-gilaan. Kalau sampeyan seorang ustad, pasti ngomongnya lain. Yang sering kudengar: tabahlah, kuatlah, ikhlaslah, lapanglah, pasrahlah, dan sebangsanya. Selanjutnya mereka bilang setiap lelakon pasti ada hikmahnya, ada misterinya, ada rahasianya yang tak selalu kita mengerti dalam sekejap. Tapi pikiran sampeyan edan tenan.”
“Lho, katanya seniman mesti kreatif. Maaf, kalau Bung tersinggung.”
“Tidak, biasa saja.”
“Lantas gimana jawabnya.”
“Mungkin bukan protes,  tapi bertanya. Apa to misterinya? Apa to rahasianya?”
“OK. Jawabnya memang bukan di tangan kita. Sekarang yang konkret saja, Bung. Apa problem keseharian yang berkembang?”
“Wah, panjang jawabnya. Bisa jadi sebuah makalah. Atau cerpen. Atau novel.”
“Itulah kelebihan Bung. Bisa menyalurkan beban derita batinnya sendiri. Tapi itu soal lain. Sekarang saya kepengin dengar sedikit saja problem  seorang duda dadakan. Biar saya yakin pilihan masalah itu memang relevan dengan rencana kami. Artinya, nanti saya bisa bilang sama istri di rumah, ceramah Bung tidak kalah hebatnya dengan seminar-seminar nasional.”
Edan tenan sampeyan. Tapi baik juga.”
“OK. Lantas? What next?”
Ternyata aku tak mampu segera memenuhi harapannya. Terlalu banyak yang ingin kukatakan. Segalanya berdesakan. Gemuruh. Penuh. Kebak. Mampet. Sumpek. Dan macet.
Aku pun terdiam. Lantas kubiarkan gagasanku melesat menembus malam. Kubiarkan sahabatku termangu bersama kepulan asapnya. Kubiarkan para pengunjung kafe itu terheran-heran menyaksikan diriku sudah dirubung ratusan perempuan yang cantik-cantik. Jangan tanyakan apakah mereka gadis-gadis, setengah gadis, setengah janda, janda-jandaan, dan janda betulan. Entahlah. Aku sendiri tak paham. Dan tak kepengin memahaminya. Yang kulihat, rambut mereka tergerai dipermainkan angin. Tangan dan kakinya melambai-lambai seperti selendang bidadari dalam dongeng-dongeng fantastik. Wanginya semerbak menghias langit dan senyumnya bertebaran ke bumi yang kelam. Gaun mereka berwarna-warni seperti pelangi alam yang sering dinyanyikan bocah-bocah sekolah. Semarak dan meriah. Mirip karnaval. Tapi tak seorang pun yang menyapa diriku.
Kami pun melanglang jagad, menembus langit, melintasi gunung-gunung dan laut. Jauh, jauh sekali. Kulintasi puncak Ungaran yang bongkok, Kendalisodo yang mungil, Merbabu yang gemuk, Merapi yang sombong, terus ke Laut Selatan yang garang. Lantas kulihat dari kejauhan wajah Jogja yang temaram, terus ke Sindoro-Sumbing yang anggun, dan dalam sekejap sudah kembali kulintasi Semarang yang gemerlapan. 
Malam itu Semarang dalam gengggamanku. Kurasakan seluruh denyut kehidupannya. Kudengar samar bisik-bisiknya, keluh-kesahnya, nyanyiannya, tangisnya, dan kulihat polah-tingkahnya yang jumpalitan. Di celah-celah mereka tampak sahabatku Triyanto Triwikromo sedang rerasan dengan isterinya. (“Wah, makin susah mengarang cerpen. Habis, setiap saat dikejar-kejar dead line pemberitaan”). Sebentar kemudian kusaksikan Eko Budihardjo sibuk menulis artikel “Gayeng Semarang” di samping istrinya yang santai melahap sebuah novel. (“Aduh, kerepotan Rektor mulai terasa. Orang pun masih bertanya-tanya soal titipan UMPTN. Kubilang tegas, tak ada jalur titipan. Tapi, siapa menjamin?”). Di tempat lain tertangkap senyuman Gunoto Saparie dalam dekapan istrinya yang ramping. (“Sabarlah, kapan-kapan kita kredit sebuah mobil. Yang sudah hilang,  sudahlah. Tuhan selalu mendengar doa dan harapan kita. Biarlah malingnya bersenang-senang sejenak. Hatinya pasti gelisah berkepanjangan.”)
Penyair Gunoto Saparie memang pernah kehilangan mobil saat parkir di halaman kantor gubernuran. Terbayang sekejap betapa kagetnya, betapa bingungnya, betapa sedihnya, betapa repotnya sang penyair. Tapi  batinku berbisik, Gun,  repotmu masih bisa ditebus dengan uang. Dan masih punya seorang perempuan yang selalu pasrah dirangkul buat rerasan. Jagalah baik-baik sebelum terampas dari  rangkulanmu. Lagi pula jangan berniat merangkul-rangkul yang lain.                                                                          Kulihat penyair Gunoto Saparie terkesiap sejenak. Barangkali heran mendengar samar rerasanku yang jauh. Padahal di kamarnya hanya berduaan, karena sepasang bocahnya sudah merakit mimpi di kamar yang lain. Lantas dia pun merapatkan dekapannya seperti ketakutan membayangkan wajahnya sendiri. Untunglah perempuan itu bukanlah titisan Setiawati dalam legenda Anglingdarma yang sedang populer di layar sinetron.
Suatu saat Prabu Anglingdarma tersenyum lembut mendengar rerasan sepasang cicak yang cemburu menyaksikan kemesraannya mencumbu Setiawati. Kesaktian Anglingdarma yang bisa berdialog dengan bahasa hewan apa pun menjadikan perempuan itu pun merajuk dan kepengin sekali ikut menggenggam ilmunya sang suami. Padahal kesaktian itu terlarang diajarkan kepada siapa pun, termasuk untuk istrinya sendiri. Tapi perempuan Setiawati sulit memahami sumpah sakti suaminya, bahkan mengancamnya dengan pati obong. Namun, kecantikannya yang tanpa tandingan itu ternyata bukan jaminan buat merobohan keteguhan janji  suaminya. Dan akhirnya Sang Prabu Anglingdarma lebih merelakan kematian isteri tersayang ketimbang melanggar sumpah saktinya sendiri.
Barangkali Mas Angling memang sudah bersiap mental menjadi seorang lelaki duda yang harus konsekuen dengan segala akibatnya. Kemungkinan lain, terbayanglah kemudahan-kemudahan seorang raja besar yang kapan pun justru dirindukan dan dilamar perempuan. Tapi kelanjutan kisahnya ternyata bukanlah lelakon yang serba menyenangkan. Lelaki  tampan, kaya, dan berkuasa itu pun malahan meninggalkan tahtanya yang gemerlapan dan memilih pengembaraan yang jauh buat memburu semangat kehidupan.
Edan, Mas Angling, batinku sendirian. Di manakah sampeyan sekarang? Ternyata tanpa jawaban siapa pun. Dan sadarlah aku masih terpaku di kursiku sendiri. Ke manakah sahabatku? Kupikir paling banter ke kamar mandi. Atau sedang ke kasir. Biarlah.
Perlahan kucabut lagi sebatang kretek dari bungkusnya yang tergolek sepi. Tapi muncul keraguan hendak membakarnya. Terbayang apiku bakal menjilat-njilat langit seperti pati-obongnya Setiawati. Dan aku pun merinding membayangkan perempuan cantik-cantik di kafe yang mewah itu pada hangus terpanggang tanpa sesambat. Lantas terdengar samar keluhan Mas Anglingdarma yang mengutip baris-baris terakhir sajaknya Goenawan Muhamad tentang keraguan dirinya terhadap percintaan sejati.
“Batik Madrim, Batik Madrim, mengapa harus, patihku? Mengapa harus seorang mencintai kesetiaan lebih dari kehidupan dan sebagainya dan sebagainya?”
Edan, ternyata Mas Angling mahir juga bersajak. Aku pun ingat judulnya “Dongeng Sebelum Tidur.” Terakhir kubaca di buku Asmaradana terbitan Grasindo Jakarta sekian tahun yang lewat.
Perlahan melintas wajah sejawat Pamusuk Eneste yang telah memesan karanganku tentang novel-novel Ahmad Tohari. Sudah setengah jalan kerjaku saat musibah itu terjadi sekian bulan yang lewat. Kemudian tersendat-sendat, bahkan terbilang macet total. Untunglah, Pamusuk Eneste bisa memahami kesulitanku.
Tapi aku sendiri harus menata kembali semangat kepengaranganku yang nyaris berantakan. Kepercayaan Grasindo yang terkenal itu harus segera kutebus dengan prestasi yang maksimal. Tapi, sampai kapan?
“Yang penting mencoba dan mencoba lagi,” sahut Mas Angling entah di mana.
Sampeyan pernah mengarang, Mas Angling?” tanyaku berseloroh.
“Saya paham, mengarang itu gampang-gampang-sukar,” jawabnya samar.
Sampeyan senang bersajak?”
“Sajak yang baik adalah ruh kehidupan. Jadi, siapa pun sebaiknya senang bersajak.”
Sampeyan paham betul maksud sajak Goenawan Mohamad?” tanyaku lirih.
Ndilalah saya sendiri yang dikisahkan. Dan ingatlah, kehidupan yang abadi tak mengenal hitungan jarak dan waktu. Saya sudah menyaksikan peta kehidupan yang panjang, dan akan terus menyimaknya hingga zaman berakhir. Tentu saja dengan caraku sendiri.”
“Apakah sampeyan paham juga pergulatan batinku?” ujarku setengah penasaran.
“Sekurang-kurangnya saya bisa menjadi prasasti kehidupan.”
“Lantas, apa saran dan usul sampeyan?”
“Sesungguhnya pemahaman yang paling mendalam hanyalah dari diri sendiri. Sang Guru Sejati telah bertahta dalam setiap pribadi. Bicaralah dengan bijaksana.”
“Maaf, sampai di sini dulu Mas Angling. Aku pun pening.”
Tak terdengar jawaban Mas Angling  yang mendadak lenyap dari pandanganku. Kemudian muncul kembali sahabatku dengan wajahnya yang semringah.
Sorry, Bung. Tadi kutinggal sebentar. Ndilalah ketemu relasi bisnis. Cantik-cantik lho. Mau kenalan? Siapa tahu kita dapat proyek barengan. Soal sesorah, pikirkan kapan-kapan. OK?”
Tentu saja aku pun kontan sepakat.
Dan selanjutnya, silahkan pembaca yang bijak-budiman membayangkan sendiri-sendiri naskah sesorahku. Entah kapan, dan entah di mana.
Tancep kayon.***

                                                                                                  (Semarang, Juni  2001)

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS

P A K S E T E N


Kemudian melekatlah nama julukan Pak Seten baginya. Dan dia pun tersenyum santai menerima julukan itu setelah sekian hari sering dipanggil Pak Abstein oleh kolega dekatnya. Dasar lidah Jawa, ketimbang susah-susah mengucapkan Abstein atau Stein yang terasa asing itu maka terucaplah Seten yang njawani.
Tentu saja julukan itu tanpa urusan apa pun dengan jabatan seten di zaman dahulu. Kata orang, Pak Seten artinya sama dengan Pak Camat zaman sekarang. Tetapi jelaslah Pak Seten yang berarti Pak Camat itu bukanlah dari Pak Abstein atau Pak Stein. Sebutan itu berasal dari asisten wedana yang artinya pembantu wedana. Benar salahnya, entahlah.
Katanya sekarang jabatan wedana itu cenderung tidak populer lantaran tidak strategis secara politis dan ekonomis. Kalau tak salah, jabatan itu disebut pembantu bupati atau walikotamadya untuk wilayah tertentu. Jadi berbeda dengan camat yang statusnya jelas kepala wilayah kecamatan. Jabatan wedana memang berstatus lebih tinggi ketimbang camat, tapi justru disirik atau dihindari para camat yang seharusnya naik pangkat dan jabatan. Harapan mereka biarlah selamanya menjadi camat dan (kalau bisa) jangan sampai di-wedana-kan. Itu bukan perkara status, tapi menyangkut basah dan keringnya sumber penghasilan.
Mungkin penghasilan Pak Seten yang hanya orang fakultas itu terlihat kurus di mata seorang kepala kecamatan, walaupun pangkat dan golongannya sudah terbilang tinggi. Tapi Pak Seten sering menghibur dirinya dengan semboyan “janganlah jabatan dan profesi selalu diperhitungkan dengan penghasilan”. Mungkin Pak Seten pernah juga mendengar semboyan orang “bolehlah bergaji kecil, asalkan penghasilan terus berlimpah”. Itulah sebabnya selikur tahun yang lewat dia pun tegas memilih jabatan Asisten Ahli Madya di sebuah fakultas sastra, meskipun waktu itu sudah mulai berkarir sebagai jurnalis koran terbesar di kotanya. Pilihan itu pastilah bukan tanpa alasan. Tapi terlalu panjang untuk dikisahkan sekarang.
Kini Pak Seten sudah menjabat Lektor Kepala golongan IV-A. Padahal seharusnya malahan setingkat lebih tinggi. Sebab, Pak Seten terbilang malas mengurus-urus kepangkatan yang salurannya panjang dan berliku. Pikir Pak Seten, mestinya pimpinanlah yang menangani perkara itu, karena tugas dinasnya memang untuk kepentingan orang banyak. Bukankah hal itu konsekuensi dan tanggung jawab pimpinan?
Orang pun maklum pimpinan fakultas dan universitas tidak disebut kepala, tetapi dekan dan rektor. Pernah Pak Seten secara iseng membuka-buka kamus hendak mencari kata dekan dan rektor. Yang terbaca dekan itu bermakna ganda. Pertama, berarti ulat pemakan buluh (Rhinzomys sumatransis), sedangkan makna yang kedua adalah pemimpin (kepala) fakultas di perguruan tinggi. Tapi Pak Seten tak mendapat keterangan dari manakah asal-usul kata dekan. Lantas yang rektor? Pertama, ketua perguruan tinggi (universitas, institut dsb), sedangkan yang kedua berarti pemimpin atau kepala biara.
Entah apa sebabnya kemudian keisengan itu pun terlupakan. Artinya, Pak Seten tak pernah berpikir lagi hendak mencari-cari asal-usulnya. Yang dia sering berpikir, dekan dan rektor itu pemimpin kaum terpelajar, cendekiawan,  cerdik pandai, ilmuwan, dan kaum profesional. Jadi, wajarlah kalau seorang dekan atau rektor itu pun ilmuwan yang mumpuni. Sebab itulah hendaknya dia pinter dan profesional di bidang ilmunya sendiri. Hendaknya mahir memimpin orang banyak. Hendaknya terampil mengurus manajemen. Hendaknya rendah hati, santun, ikhlas, dan sekian hendaknya yang baik-baik.
Pasti tak seorang pun menyandang banyak kelebihan seperti itu. Pasti setiap orang punya kelebihan dan kekurangan. Pasti setiap orang punya keunggulan dan kelemahan. Pasti setiap orang punya plus dan minus. Makanya mesti ditimbang-timbang manakah yang lebih berat bobotnya: unggulnya atau lemahnya? Plusnya atau minusnya? Lantas siapakah yang paling berhak menimbang-nimbang kepantasan seseorang menjadi dekan atau rektor? Banyak orang bilang bahwa timbangan itu seharusnya berada di tangan orang-orang sekampus. Sebab merekalah yang sudah dekat dan akrab dengan sang calon. Dan mereka sendirilah yang kemudian akan menanggung kepemimpinannya. Jadi alangkah indahnya kalau pimpinan itu sepadan dengan harapan orang-orang sekampus. Tentulah bukan berarti dekan dan rektor itu orang yang terbaik, tetapi dialah orang yang tepat duduk di kursi pimpinan pada masanya.
Namun, Pak Seten mengaku terlanjur malas memegang harapan banyak orang. Sebab, yang terdengar di sana-sini telah terjadi keguguran (atau pengguguran) harapan. Misalnya masyarakat di kampus anu telah mantap memilih si A dan si B menjadi calon pimpinan, tetapi justru si C dan si D yang diangkat oleh kementerian di Jakarta. Kasus semacam itu pun pernah benar-benar terjadi di fakultasnya, bahkan Pak Seten sendiri mengalaminya.
“Saya harap sampeyan menerima keputusan ini dengan ikhlas, sabar, dan takwa. Saya yakin jabatan itu bukan tujuan sampeyan. Pantasnya sampeyan menjadi doktor. Saya maklum sampeyan pun kecewa. Siapa sih yang tak suka jabatan. Tapi kita percaya sama takdir. Kami sendiri sudah berjuang maksimal. Kalau sudah menjadi keputusan Jakarta memang sulit dibatalkan. Jadi, sekali lagi, terimalah dengan ikhlas. Barangkali Tuhan punya kehendak lain buat sampeyan. Yang penting prestasi dan kerja keras sampeyan kemarin telah dicatat banyak orang. Mudah-mudahan ibadah dan amal sampeyan diterima Gusti Allah.”
Seperti itulah kurang lebih kalimat-kalimat yang setahun silam berjatuhan di meja Pak Dekan. Lantas dipungutnya satu-satu dan disimpan perlahan ke celah-celah buku hariannya yang semakin padat. Sayang rembugan mereka saat itu berjalan teramat singkat. (Atau memang sengaja dipersingkat oleh Pak Dekan?) Maka yang kita mengerti hanyalah namanya digugurkan Jakarta lantaran pangkatnya belum sepadan peraturan. Tampaknya Jakarta melihat data di atas kertas, bukan data di lapangan. Lantas di manakah makna dedikasi dan prestasi? Atau, adakah kemungkinan lain seperti lobi-lobi yang dia sendiri tak pernah memikirkannya?
Yang terpikir, selama tiga tahun mendampingi Pak Dekan dia merasa telah mencurahkan segala pikiran, tenaga, dan waktunya untuk fakultas. Ndilalah, kebetulan, sepanjang masa tugasnya kemarin sedang marak-maraknya gerakan mahasiswa yang berdalih menggugat demokrasi, kebebasan ilmiah, otonomi kampus, nasib buruh, nasib petani, dan sebagainya. Bahkan kampusnya sendiri sering dijadikan pangkalan keributan, sehingga populer di koran-koran. Maka tak jaranglah dia pun berurusan dengan pihak aparat keamanan demi kepentingan mahasiswa dan kampusnya. Dan bolehlah dia merasa berbesar hati karena berbagai masalah yang gawat-gawat di kampusnya bisa terlewat dengan selamat. Jadi, wajarlah namanya diusulkan ke Jakarta agar masa tugasnya berlanjut sekali lagi. Kalaupun harus ada calon lain “demi peraturan dan perundang-undangan” maka sifatnya hanyalah formalitas.
Namun apa yang terjadi ternyata di luar harapannya.  Untunglah dia sibuk di mana-mana, sehingga cepatlah melupakan segala kisahnya yang terlewat.
Kemudian tibalah saat fakultasnya sendiri harus memilih calon pimpinan baru karena Pak Dekan harus mengakhiri tugasnya setelah dua kali pegang jabatan. Artinya, Pak Dekan harus ikhlas melepasnya “demi peraturan dan perundang-undangan” meskipun di baliknya mungkin saja merasa kehilangan. Yang jelas, akan kehilangan sekian fasilitas dan akan kembali menjadi staf  jurusan saja.
Lantas di awal proses pencalonan itu terdengarlah sesorah Pak Dekan yang sangat berharap semua pihak bertanggung jawab. Jangan sampai ada  yang melepas tangan. Jangan sampai ada yang dianggap menghambat demokrasi. Jangan sampai ada yang diragukan dedikasi dan loyalitasnya. Jangan sampai ada yang menularkan apatisme ke kalangan mahasiswa. Jangan sampai ada yang kelak terpaksa dipanggil rektor. Dan sebagainya. Dan sebagainya.
Dan sejak itulah bermunculan bisik-bisik dan rerasan banyak orang: di kantor, di ruang kuliah, di kantin, di sudut parkir, dan bahkan di gagang telepon. Macam-macamlah aspirasinya. Ada yang bilang aspirasi bawahan biasanya hanya jadi catatan di rapat fakultas. Bahkan terdengarlah rerasan Pak Seten, ”Jangan-jangan kelak putusan rapat itu hanya catatan buram di mata pejabat tinggi di Jakarta. Jadi, apa salahnya kalau diserahkan saja kepada Pak Menteri. Biarlah Jakarta sendiri yang bikin ketetapan. Dan terimalah siapa pun yang diangkat jadi pimpinan. Dan lupakan saja sekian harapan yang muluk-muluk.”
Wajarlah rerasan itu disambut bermacam sikap. Yang jelas, orang mengira rerasan itu sekadar kelakar dan seloroh. Maka heranlah mereka menyaksikan seloroh Pak Seten yang bersungguh-sungguh.
Sampeyan memang tak ambil pilihan?” Tanya Pak Abunawas setelah rapat fakultas itu bubaran.
“Saya pikir siapa pun boleh memimpin,”jawabnya ringkas.
“Boleh itu berbeda dengan berhak, bukan?”
“Tapi, ingat yang berhak belum tentu boleh.”
“Diperjuangkan, dong!”
“Tahu diri. Orang kecil bisanya apa, sih?”
“Dendam sama nasibnya sendiri?”
“Mudah-mudahan Gusti Allah mengampuni segala dosaku.”
Apakah benar dia berdosa? Entahlah. Yang jelas, sejak itulah orang-orang dekatnya gemar memanggilnya dengan julukan Pak Abstein, Pak Stein, dan akhirnya Pak Seten.
Kabar terakhir Pak Seten dipanggil rektor.***
                                                                                   

                                                                                      (Semarang, April 1998)

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS

P U L A N G


Petang sudah merapat saat jemarinya yang ramping mengetuk pintu yang membisu. Dia pun sadar rumah itu tak akan segera terbuka, sebab isyaratnya teramat lembut bagi yang di dalam. Barangkali bahkan tak terdengar lantaran terdesak siaran televisi. Lantas terbayang sepasang wajah yang temaram di amben kayu sedang menonton gambar-gambar kemewahan di layar kaca. Pastilah mereka tak mengira seorang anaknya sedang termangu di teras rumah kelahiran.
Sesaat kemudian dia pun mengulangi ketukannya setelah yakin pintunya terkunci. Perlahan terdengar langkah-langkah yang ringan dalam lipatan kain. Tapi terhenti sejenak seperti meragukan ketukan itu. Lantas pintu pun diketuk lagi disertai ucapan salam yang panjang. Dan saat pintu berderit perlahan terdengarlah sambutan yang ragu dalam rentetan kata yang ringan.
“Lho, kok bapaknya Gambuh. Kok sendirian? Kok malam-malam?”
Dan sebelum lelaki yang dipanggil “bapaknya Gambuh” sempat menjawab, terucap lagi keraguan wanita itu, “Bener sendirian? Dari rumah atau dari mana? Kalau anak pulang nganeh-anehi, sok jadi kaget dan terataban hatinya ibu. Tapi tak ada apa-apa, to?”
Lelaki setengah umur itu hanya bisa melepas senyum yang lembut, lantas menggenggam jari-jari ibunya, seolah hendak berbagi dingin yang tersisa dari perjalanan yang panjang. Beberapa langkah ke dalam masih tersaput sepi dan akhirnya lelaki itu merebahkan tubuhnya yang tipis ke amben kayu di ruang tengah. Tarikan napasnya yang panjang seperti hendak melepas beban yang memberat.
Saat itu sang ibu masih berdiri termangu, seolah tak percaya pada kehadiran anaknya. Tapi sebentar kemudian terbitlah senyumnya setelah mendengar pengakuan lirih dari bapaknya Gambuh.
“Kadang sekali tempo rindu pulang sendirian. Jadi, cuma kangen. Niatnya dari rumah hanya kepengin pulang sendirian. Kalau Ibu kaget, saya tahu. Tadi sudah saya bayangkan demikian. Tapi tak ada apa-apa. Bapak di mana?”
Perempuan yang rambutnya mulai memutih itu belum beranjak dari tempatnya berpijak. Tampaknya masih belum percaya benar bahwa yang tergolek di amben itu sungguh sulungnya sendiri.
“Bapak ke mana to Bu?” Ujar bapaknya Gambuh yang berniat mengusir keraguan ibunya.
“Mungkin masih di mesjid. Tadi rasan-rasan mau rembugan sama takmir. Katanya pengin nambahi teras. Kalau Jumatan sudah meluber ke latar. Mumpung tembako seperti akan dapat angin. Kabarnya pabrik-pabrik di Kudus dan Kediri sudah mbuka-mbuka gudangnya. Malahan kabarnya Gudang Garam sudah melepas harga pasaran.”
Setelah terhenti sejenak untuk merendahkan volume televisi, terdengar lagi kata-katanya yang lembut. “Terus apa kabarnya Semarang? Bapak sendiri kemarin mengaku kangen sama cucu-cucunya. Ya kangen sama semuanya. Gambuh, Sinom, Mengatruh, dan semuanya.”
“Jadi pas ya Bu? Kalau Bapak kangen, saya sendiri rindu. Artinya, radar dan gelombang kita masih normal.”
“Lha iya itu, yang namanya bapak sama embok itu kepengin sambung terus sama anak-anaknya. Kepengin dengar kabarnya setiap saat. Tapi nyatanya jauh-jauh. Jadi, bisanya hanya berdoa sama Gusti Allah biar semuanya diberi sehat dan kenikmatan. Ibu sendiri selalu menyebut semuanya. Yang Semarang, yang Tegal, yang Bandung, yang Malang, yang Kudus, pokoknya semuanya dimintakan berkah dan kenikmatan.”
Di luar terdengar langkah-langkah mantap yang semakin mendekat. Bapaknya Gambuh yakin itulah pertanda langkahnya sang ayah. Lantas berbangkit, duduk bersila, dan perlahan merobek kreteknya. Saat pintu terbuka, bergegaslah dia menepi ke bibir amben hendak menyambut sang ayah yang sejenak berdiri mematung. Kemudian terdengar kata-kata yang memberat.
“Kapan datangnya? Sendirian?”
“Tadi, hampir isa. Sendiri saja. Memang lagi kepengin sendirian.”
Perlahan Bapak menata duduknya ke sudut amben, dan menyambung kalimatnya yang lirih.
“Dari kemarin aku rasan-rasan sama ibumu kalau kangen banget sama Semarang. Malahan sudah mikir besok apa lusa kepengin ke sana. Syukurlah kalau kamu sendiri yang pulang. Tapi, tak ada apa-apa to? Kok nganeh-anehi. Semuanya baik-baik?”
Ternyata bapaknya Gambuh tidak segera menjawab. Padahal itulah maksudnya pulang sendirian. Hendak mencurahkan resah hatinya ke pangkuan rumah kelahiran, mumpung masih mungkin merangkulnya. Tapi saat itu justru hatinya meragu dan bertanya, pantaskah berkisah yang sebenarnya? Setelah menyulut sebatang kretek dan menerima segelas kopi panas dari ibunya, berkatalah dia dengan nada dan irama yang datar.
“Sekali saat rindu pulang sendiri. Kangen pulang sebagai anak yang bisa bersujud khusuk ke pangkuan Bapak dan Ibu. Kalau sama istri dan anak-anak seperti biasanya akan terasa lain. Semrawut. Sibuk. Gemuruh. Kalau begini terasa laras. Santai.”
Bapak masih terdiam saat mengangkat gelas kopinya yang kental. Kemudian ibu mendekat duduk, sehingga mereka bertiga menyatu dalam kebekuan sekejap. Masing-masing seperti mencari tumpuan melepas kata-kata yang tersendat. Ketika mendadak terdengar deru motor di luar, sang ayah seperti menemukan alasan membuka percakapan.
“Tadi mbayar berapa ojeknya?”
“Mungkin ya mahal sedikit. Tapi biarlah. Saya pikir belum tentu sekali setahun mengojek. Jadi, biar sajalah kalau dianggap mahal. Ojeknya senang dan saya sendiri cepat sampai ke rumah.”
“Tapi, terus terang kaget lho kamu pulang begini. Soalnya malam Jumat kemarin aku mimpi yang rada tak enak maknanya. Orang bilang impian itu kembangnya tidur. Boleh saja dibilang demikian. Tapi yang sudah-sudah mimpiku sering ada maknanya. Sekarang boleh to mendengar dulu kabarnya Semarang?”
Ibu yang terdiam lantas berbangkit. Barangkali menyadari sisa-sisa urusannya di  dapur.
“Makan dulu saja, ya? Nanti tinggal dongeng-dongengan. Gorengkan telur apa tahu bacem?”
“Tadi sudah makan di kota. Kangen sama tahu kupat. Tapi kalau Bapak belum dahar, boleh juga ikut sedikit. Tahu bacemnya siapa? Masih bikinan Yu Warsilah?”
Tak terdengar jawaban Ibu, karena bergegas menghilang ke belakang. Dan sepi rumah itu kembali teronggok di amben kayu yang sudah sekian puluh tahun bertahan di ruang tengah. Ayah tampaknya tak ingin mendengar kisah itu sendirian. Nyatanya menyusul ke dapur dan kembali berdua dengan nasi putih, sayur lodeh, dan tahu bacem yang panas.
“Kebeneran tadi nyisihkan tahu bacemnya Yu War,” ujar Ibu dengan lirih seolah sekadar ingin membuang sepi.
“Apa to bedanya dengan tahu bacem Semarang?” kata Ayah sambil bersibuk dengan sendoknya.
“Sama saja kalau soal rasanya. Tapi bacemnya Yu Warsilah bisa bangkitkan kenangan lama. Dulu senang nongkrong di warungnya lantaran anaknya ayu-ayu. Waktu itu, lho. Tentu sekarang sudah lain maknanya. Di mana saja mereka sekarang? Mursidah, Murilah, dan Marsinah mungkin sudah pada punya cucu. Mungkin juga sudah pada lupa bikin tahu bacem.”
Mereka pun tersenyum dan berlanjut ujaran bapaknya Gambuh. “Kalau baceman Semarang itu sudah nyangkut urusan masa kini. Jadi, serba praktis demi perut semata-mata. Tapi kondang juga di kalangan teman sekantor. Kadang pada nuntut dibuatkan. Anehnya, belakangan ini ibunya Gambuh mengaku malas mengurus dapur. Ndilalah serba kesalahan. Pernah ayamnya gosong. Pernah pagi-pagi sayurnya kecut, padahal belum diapa-apakan. Kemarin nasinya tumpah. Mungkin semuanya itu kebetulan saja. Tapi seperti ada firasat, katanya. Entahlah.”
Kalimat terakhir itu dibiarkannya tergantung, lantaran disadari sudah terlalu jauh arahnya. Tapi Ibu yang tanggap isyarat lantas menyambung pendek, “Apa ada musibah, apa gimana?”
“Musibah? Ah, bukan. Hanya lelakon perjalanan harus berbelok-belok,” sahut bapaknya Gambuh sambil memberesi piringnya.
“Ada apa to kok bikin dheg-dhegan saja?” sela Ayah dengan cekatan, dan sambungnya perlahan, “Apa soal jabatan?”
“Begitulah kira-kira. Sejak kemarin bukan lagi pejabat fakultas.”
“Terus dipindah atau bagaimana?” tanya Ibu.
“Ya, tidak. Kembali ngajar seperti biasanya. Lain sama kantor pemerintah. Kalau di sana jabatan itu karir. Terus makin meningkat, kecuali kalau ada kesalahan, bisa dihentikan. Mungkin juga harus pindah ke tempat lain. Tapi jabatan di fakultas seperti pengurus RT. Dipilih dari dosen-dosen senior untuk tiga tahun masa jabatan. Syaratnya macam-macam. Pangkat, pengalaman, loyalitas, sikap, dan lain-lain. Kalau segalanya mulus dan bagus biasanya dua kali masa jabatan. Sesudah itu kembali jadi staf biasa. Seperti ketua RT atau RW begitulah.”
“Tapi kamu sendiri baru sekali menjabat,” sela Ayah dengan nada gelisah.
“Ya, itulah namanya lakon. Mestinya masih satu masa jabatan lagi. Sudah diputuskan di rapat fakultas. Semuanya sepakat. Tapi, kenyataannya gugur di Jakarta. Yang diangkat orang lain.”
Bapak terdiam seperti ingin mencerna penjelasan itu, sedangkan Ibu berbangkit lamban membereskan piring-piringnya. Sebenarnya bapaknya Gambuh sendiri sadarlah bahwa mereka berdua kesulitan memahami masalah itu. Soal pangkat dan jabatan sungguh di luar hitungannya. Yang pasti, mereka pun selalu berharap segenap anaknya berkembang makin semarak. Yang mereka tahu, bapaknya Gambuh itu dosen, adiknya pegawai Dolog, adiknya lagi pegawai Bank BRI, adiknya lagi pegawai Kabupaten, dan yang bungsu guru SMP.
Semuanya itu sungguh kemurahan yang berlebihan bagi mereka berdua yang selama hidup hanya mengenal persil, kebun, sawah, dan tegalan. Sekarang mereka pun ikhlas menunggu sepinya rumah kelahiran sambil sekali-sekali merindukan pulangnya anak, menantu, dan cucu-cucu yang suka bermanjaan. Apa lagi yang lebih indah dari kanugrahan seperti itu?
Kalau malam itu seorang anaknya melangkah pulang dengan wajah yang muram, maka yang bisa mereka ucapkan hanyalah kalimat-kalimat istifar.
“Bapak sungguh tak paham peliknya persoalan jaman sekarang. Namanya saja orang desa yang lahir di jaman silam. Tapi yakin bahwa hidup ini sepertinya tak pernah ingkar janji. Sebab, sumbernya kekal, hanya Gusti Allah yang rahman dan rahim. Jadi, yang bisa dilakukan sekarang hanya memohon kepada Gusti Allah biar semuanya diparingi lakon yang adil. Yang menanam kebajikan pasti akan diberi buahnya. Dan jangan ada anakku yang tergoda menanam kebatilan dan kemungkaran.”
Bapaknya Gambuh hanya terdiam seraya mempermainkan ujung kreteknya ke asbak lempung bikinannya sendiri sewaktu masih di SMA. Tapi pikirannya menyusup malam yang semakin sunyi. Ingin dia berkisah panjang lebar. Tapi sadarlah bahwa segalanya bukan oleh-oleh yang pantas dihidangkan di amben yang selalu pasrah mendengar segala kisah. Kemudian percakapan beralih-alih ke banyak arah. Tentang panenan, kondangan, layatan, daftaran sekolah, dan seterusnya. Dan seterusnya.
“Terus apa rencananya besok?” Tanya Ibu setelah mematikan televisi.
“Sudah pesan sama Mas Ojek dijemput setelah subuhan.”
“Lho, kok buru-buru?”
“Biar tak ketemu banyak tetangga. Nanti jadi berkepanjangan dongengnya. Mesti basa-basi. Yang penting, saya ingin matur sama Bapak dan Ibu bahwa selama ini sudah mencoba berbuat yang baik-baik. Soal jabatan tadi, janganlah dirisaukan. Barangkali memang bukan jatah saya. Meskipun mengaku punya prestasi, mungkin saja tak tampak di mata atasan. Apa lagi di mata orang Jakarta yang jauh, pasti yang tampak hanyalah pangkat. Kalau benar direbut orang, ya sudah, mau apa lagi? Biarlah urusannya sendiri kepada Gusti. Jadi, sementara ini kami serumah harus belajar ikhlas. Harus nerima ing pandum. Kalau soal kerjaan, percayalah, sangat banyak yang harus digarap.”
“Yang penting, jangan lupa sama sumbernya. Eling dan waspada,” ujar Ibu dengan lembutnya sambil mengelus punggung sulungnya yang tetap menipis. Kemudian bersambung pengakuan Bapak dengan nada yang rendah.
“Jadi, mimpiku benar. Ada maknanya. Mau bikin rumah-rumahan kok tahu-tahu dibongkar orang. Belum sempat tanya-tanya siapa pun, tahu-tahu dibangunkan ibumu.”
“Habis, bikin orang kaget. Ribut. Siapa yang tak bingung?” sahut Ibu dengan senyuman yang manis.
Akhirnya perlahan mereka pada melepas duduk masing-masing, lalu berkemas ke bilik tidur yang tak pernah ingkar janji merangkul segala resah dan gelisah. Dan malam pun berlanjut.***

                                                                                             (Semarang, Juli 1996)  

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS

JALAN SURATMO


Atlas mutakhir Semarang yang semakin semrawut pastilah belum merekam garis alurnya Jalan Suratmo yang memang belum diresmikan Walikota, karena sesungguhnya belum rampung dibangun. Sebagian ruasnya bahkan masih merupakan jalan setapak yang meliuk-liuk di sela perbukitan yang gersang. Tapi sekian bulan yang lewat pernah jadi berita besar di koran-koran. Sebab, lebih dari seratus rumah warga kota harus dirobohkan menjelang gemuruhnya buldoser yang bakal melalap perbukitan itu. Tentu saja kasus seperti itu merupakan objek spektakuler bagi kaum wartawan. Padahal, pemberitaan yang bertubi-tubi itu sesungguhnya terasa menikam ulu hati siapa pun yang mesti berkorban.
            Perkaranya memang terbilang rumit, kata seorang guru besar yang terkenal ahli sosiologi hukum. Sebab, mereka sudah kepayahan memikirkan perjuangan hidup masing-masing. Mereka kebanyakan adalah orang-orang pinggiran yang selalu terkalahkan dalam persaingan hidup di kota besar yang semakin garang.
            Bagi mereka itu rumah bukanlah home yang dirindukan, komentar seorang insiyur ahli perkotaan. Rumah hanyalah pelindung diri terhadap hujan dan panas. Yang penting tidak terlalu jauh dari sumber-sumber rejeki. Di pihak lain, katanya pula lewat sebuah koran, Pemerintah Kota selalu kewalahan mencegah semarak rumah-rumah tak resmi. Pasalnya, kemampuan pemerintah sangatlah terbatas.
            Lain lagi pendapat seorang pejabat Pemerintah Kota. Katanya, sudah sejak lama pemerintah memberitakan rencana-rencana pembangunan, termasuk Jalan Suratmo yang bakal menjadi jalan alternatif buat mengurang kepadatan lalu lintas di poros Semarang-Jakarta. Tapi kebanyakan orang senang berspekulasi dengan harapan kelak mendapat ganti rugi. Padahal tak ada ganti rugi buat pemukiman yang terbilang liar. Namun, toh pemerintah tetap menempuh langkah-langkah bijaksana dan manusiawi. Kepada mereka ditawarkan kapling-kapling resmi tanpa bayaran. Tentu saja janganlah mereka menuntut tinggal di kawasan-kawasan yang sudah berkembang mapan. Dalam hal bongkar-membongkar pun pemerintah tidak melepas perhatian. Kepada mereka ditawarkan truk-truk gratisan, bahkan dibagikan pula uang sekadar pembeli paku. Sayangnya, mereka cenderung tidak mau mengerti, lantas mengadukan nasibnya kepada wakil rakyat.
            Itu semua adalah hidangan lezat berbagai koran. Fantastik memang, apalagi dihiasi foto-foto yang komersial. Ada seorang nenek tua mesti memanjati sendiri rumahnya yang reyot. Ada adegan pertengkaran sekelompok korban dengan Petugas Ketertiban Umum. Ada pula rumah yang terpaksa dihancurkan buldoser. Pokoknya macam-macamlah warnanya.
            Barangkali kisah duka mereka itu kini sudah terlupakan banyak orang. Kebanyakan koran tak mau lagi kompromi dengan masa lewat. Dan orang pun selalu menuntut kabar-kabar terbaru. Lagi pula kesibukan kota yang semakin keras telah memaksa warganya malas merenung-renung. Masing-masing bergegas memburu harapan yang sulit dibayangkan sosoknya. Apa yang hebat dan spektakuler di hari kemarin tak nyaman lagi dikunyah hari ini. Dan besok mestilah mengunyah hidangan lain.
            Saya sendiri sudah melupakan kisah sedih Jalan Suratmo.
            Kalau kenangan itu kembali melintas-lintas, karena terundang ke kantor kelurahan. Kata surat itu, akan hadir pejabat Pemerintah Kota untuk mengabarkan rencana lanjutan proyek Jalan Suratmo.
            “Haruskah pergi?” Saya bertanya sendiri tanpa jawaban yang pasti.
            Pergi berarti mengunyah kisah duka. Bahkan bakal menyaksikan sendiri gelisah dan resah tetangga dekat-dekat yang selama ini sudah sekulit daging. Pejabat Pemerintah Kota itu pastilah mengabarkan bahwa sekian rumah perlu ditertibkan demi pembangunan transportasi kota yang lebih nyaman. Dan ndilalah sekian rumah itu adalah dunianya Pak Pendek, Pak Brewok, Pak Kuwat, Pak Gampang, Pak Sabar, Pak Kumis, dan Pak Godek yang semuanya sejawat dan sahabat dalam banyak urusan kampung.
            Konon Pak Pendek dan Pak Brewok itu cikal bakalnya kampung sekian belas tahun yang silam. Sering dengan bangga mereka berkisah tentang pergulatannya melawan celeng dan ular di semak-semak belukar. Mereka pun berbesar dada bila orang-orang sekarang membilang terima kasih dan memuji-muji rintisannya. Memang terasa ganjil di benak saya. Seolah-olah berkat merekalah kami sekarang bisa menghuni dan menata kampung. Tapi yang seperti itu bukanlah soal yang mesti dipertanyakan, apalagi diperdebatkan. Biarlah mereka nikmat dengan fantasinya, sedangkan kami pun tak merasa dirugikan.
            Pak Sukar dan Pak Gampang sering disebut Pak Kembar, karena memang bersaudara kembar lelaki. Masing-masing sudah beristri dan beranak. Masing-masing populer sebagai tukang batu dan tukang kayu yang terampil dan cekatan. Pak Kembar kerap kali memamerkan karyanya dengan menyebut rumah si A, si B, si C dan seterusnya. Pokoknya hampir semua rumah di situ pastilah pernah disentuh dan dijamah tangan-tangan perkasa Pak Kembar. Tapi sekarang makin banyak saingan dan mereka pun mulai melangkah ke kawasan-kawasan yang lebih pinggiran.
            Sering Pak Kembar dijadikan objek perjudian kelas kampung atau sekadar lelucon. Kemunculannya di mana pun sering mendorong orang bermain tebak-menebak, yang manakah Pak Gampang dan mana pula yang Pak Sukar. Tampaknya mereka sendiri senang-senang saja diperjudikan, sebab sering kebagian rejeki dari siapa pun yang bertaruh.
            Pak Kuwat banyak berjasa dengan dokarnya yang kokoh, bersih, dan berkuda jangkung. Biasanya tepat jam delapan sudah bersiap di bawah pohon munggur terbesar di jantung kampung menunggu para pelanggan yang hendak ke jalan raya. Pangkalannya di pohon munggur itulah yang lantas membuahkan julukan Pak Munggur baginya. Saya sendiri berharap Pak Munggur alias Pak Kuwat selalu sehat dan panjang umurnya. Dengan demikian banyak orang terbantu langkahnya ke jalan raya, terutama di kala hujan atau di saat panas memanggang bumi. Memang Pak Kuwat bukan satu-satunya pemilik dokar di kampung kami. Ada juga pendokar-pendokar yang lain. Tapi yang paling populer adalah Pak Kuwat, karena orangnya ramah, santun, dan kaya lelucon.
            Pak Kumis adalah petugas parkir di sebuah pasar pemerintah yang hampir setiap siang kami singgahi sepulang kantor. Sering istri saya menitipkan barang belanja padanya, dan saya sendiri sering menikmati pelayanan parkirnya yang ramah dan gratis. Jasa baik Pak Kumis itu telah mendorong istri saya membelikan selembar baju obralan menjelang Lebaran kemarin. Itulah Lebaran pertama sejak setahun lewat kami pun meramaikan kampung Wonoharjo yang sebagian wilayahnya bakal dilintasi Jalan Suratmo.
            Dan Pak Godek? Dia tak kalah berjasa dari yang lain berkat es puternya, meskipun terbilang kelas murahan. Akrab dan ramahnya tak sebatas dengan bocah dan remaja, tetapi juga dengan kalangan yang tua-tua. Di musim banyak perhelatan Pak Godek menikmati kelarisannya, karena yang punya hajat boleh dipastikan memesan es puter bikinan Pak Godek. Istri saya pun pernah memborong untuk sebuah acara seminar di fakultas.
            Sungguh saya tak banyak tahu asal-usul mereka tinggal di sana. Yang pernah terdengar, mereka pun maklum bahwa suatu saat kelak akan tergusur. Tetapi kata orang, mereka berani nekad bermukim di bahu Jalan Suratmo lantaran setengah mendapat ijin dari mendiang Pak Lurah Hebat yang sering dikenang jasanya membela-bela rakyat jelata. Padahal ada juga yang bilang lurah itu pun sibuk memungut uang tebusan untuk setiap kapling yang dipatok warganya. Tentu saja itu kisah sekian tahun yang silam. Padahal selama ini telah berganti lurah tiga kali. Dan Pak Lurah yang mengundang kami sore itu baru sebulan memangku jabatannya. Jadi, belum mengenal kami masing-masing. Belum sempat menjalin silaturahim. Belum sempat berbagi suka dan duka dengan kebanyakan warga sekampung. Mungkin itulah pengalaman pertamanya menghadapi masyarakat di lapangan. Sebab, sebelum memangku jabatan lurah lebih banyak berurusan dengan keuangan di Kantor Dinas Pendapatan Kota.
            Saya bayangkan Pak Lurah akan sedikit saja berkata-kata. Yang lebih banyak tampil pastilah sang pejabat Pemerintah Kota dengan argumentasi berkepanjangan. Lantas sama-samar terbayang bahasa mereka yang plastis dan terkesan simpatik, tapi ujung-ujungnya melepas tanggung jawab.
***
            Sesungguhnya kami-kami sendiri merasa berat hendak menjelaskan masalah Jalan Suratmo. Tapi, sebagai aparat pemerintah justru wajib mengajak segenap masyarakat  untuk memahami keputusan pemerintah. Pada kenyataannya kita-kita semualah yang harus mendukung dan berpartisipasi terhadap pembangunan yang sudah disepakati bersama lewat GBHN, Repelita, dan akhirnya sampai ke tingkat tata kota.
            Perlu diketahui bahwa rencana pembangunan Jalan Suratmo itu sudah diprogramkan sejak sekian tahun yang silam. Gambarnya sudah dibikin sangat jelas, dan sudah dipasang di kantor kelurahan. Maksudnya supaya masyarakat ikut mengamankan. Jadi, sekarang ini tinggal pelaksanaan saja. Kalau proyek itu ditunda-tunda memang banyak sebabnya. Yang jelas dana pembangunan daripada pemerintah sangat terbatas. Makanya diperlukan urutan-urutan atau giliran.
            Sama sekali tidak benar kalau ada pikiran bahwa pemerintah selalu mendesak kepentingan golongan yang lemah dan menguntungkan golongan yang kuat. Prinsipnya pembangunan itu untuk semua orang. Pembangunan jalan-jalan di seluruh kota ini jelas untuk semua orang. Kita-kita semua pasti membutuhkan. Bedanya, ada yang punya mobil atau motor sendiri, dan banyak yang harus dengan angkutan umum.
            Maka di sana-sini ada rute angkutan umum yang dilewatkan jalan-jalan kampung untuk membantu masyarakat yang jauh dari jalan raya supaya gampang mendapatkan kendaraan. Tidak mungkin jalan-jalan kampung dilewati mobil besar. Nanti masyarakat protes karena jalannya rusak. Tapi biasanya orang cuma melihat sepintas kilas. Katanya rute angkutan kota digusur-gusur. Lantas dijadikan bahan memojokkan pemerintah. Ini hanya sekadar contoh, dan kita semua masih bisa mengemukakan banyak contoh-contoh yang lain. Misalnya tentang penertiban pedagang, parkir, pasar, dan sebagainya.
            Jalan Suratmo akan dilebarkan menjadi tiga puluh meter. Jadi, kelak akan jadi jalur yang penting. Dengan sendirinya kampung Wonoharjo besuk-besuknya akan jadi strategis dan mahal harganya. Kelak warga di sini tidak tergantung lagi sama dokar-dokar yang sekarang masih bertahan. Apakah dokarnya akan digusur? Belum tentu. Nanti dicarikan alternatif lain. Maksudnya dicarikan cara yang baik supaya tetap eksis. Artinya, tetap bertahan. Sebab, dokar-dokar itu sebuah keunikan tersendiri di salah satu sudut kota besar yang jadi ibu kota propinsi.
            Sekali lagi kami jelaskan bahwa pembangunan apa pun pasti untuk semua orang. Dan kadang-kadang harus ada pengorbanan. Kebetulan, ndilalah, dalam kasus ini yang terpaksa berkorban adalah sebagian warga kampung Wonoharjo. Seandainya dulu warga setempat tidak menempati bahu jalan tersebut, pasti sekarang tidak menghadapi masalah yang rumit. Jadi, harap dipahami bahwa untuk pembangunan jalan itu tidak ada istilah penggusuran sama sekali. Yang harus dilaksanakan adalah penataan atau penertiban. Kalau tak salah ada sebelas rumah. Jumlah itu sangat sedikit dibandingkan dengan kasus yang terdapat di wilayah lain yang terpaksa memindahkan sekitar seratus rumah.
            Kedatangan kami-kami ini melaksanakan tugas daripada pemerintah untuk mendengarkan pendapat atau usul dan saran dari masyarakat. Hasilnya nanti harus kami sampaikan kepada pemerintah untuk dibahas lebih jauh. Jadi, kami sendiri tidak dapat dan tidak berwenang memberikan jawaban atau putusan. Kami-kami pun hanya ditugasi menampung pendapat masyarakat. Pokoknya sekarang ini hanya semacam sarasehan atau sambung rasa untuk memperolah gambaran langkah-langkah apa yang paling baik. Nah, silahkan siapa saja boleh berpendapat. Siapa saja punya hak bicara. Nuwun sewu, jangan sungkan-sungkan, jangan ragu-ragu, jangan takut-takut, karena masalah ini merupakan masalah kita bersama.
***
            Kemudian terbayanglah raut wajah mereka yang cemas, resah, gelisah, dan rapuh. Pasti mereka pun kehabisan kata-kata, sebab jarang bicara di rapat-rapat resmi kelurahan. Paling banter berkeluh kesah dan berserah nasib ke tangan Pak Lurah. Tapi apakah yang bisa diperbuat Pak Lurah?
            Saya sendiri di posisi yang sulit. Berat rasanya hendak mempersalahkan mereka, tapi mustahil juga membelanya. Yang jelas, harus bisa memilah-milah yang benar dan yang salah. Di sisi lain saya sendiri sungguh beruntung bila pembangunan jalan itu segera dilaksanakan, sebab sebagian ruasnya  melintas persis di depan rumah. Itulah memang alasan kami dahulu memilih kapling di Jalan Suratmo, walaupun saat itu masih dirapati ilalang dan semak belukar. Nyatanya sebentar lagi akan beraspal mulus.
            Lantas saya pun keluar, ingin memandang Jalan Suratmo yang sebagian punggungnya masih ditumbuhi pisang dan ilalang. Tapi yang terlihat justru kerumunan tetangga di depan rumah Pak Pendek. Pastilah mereka sedang merembug nasib masing-masing. Kecut hati saya sore itu. Tapi tak banyak yang bisa terucapkan, kecuali berbisik kepada angin yang mendadak bertiup dingin.***

                                                                                                (Semarang, Agustus 1991)

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen "SESORAH UNTUK LELAKI  YANG (MASIH) BERISTRI" oleh Yudiono KS